Berikut 5 alasan anak lebih suka berkutat dengan game nya dibanding berdekatan dengan orang tua.
- Games tak pernah marah-marah meski pemainnya kalah atau salah. Coba kita perhatikan. Kalau pemainnya kalah, games hanya mengingatkan: “You fail.. try again!!”. Coba bandingin dengan kita, yang kalau marah tak cukup semenit dua menit, bahkan kesalahan-kesalahan yang lalu kalau bisa kita ungkit-ungkit lagi. Jangan-jangan, ini yang membuat anak’nyesek’ kalau terlihat salah di depan kita, dan lebih suka bermuka dua.
- Games memiliki tampilan yang menarik untuk dilihat. Anak- anak, khususnya anak laki-laki yang sangat visual tentu saja tertarik untuk mencoba. Bagaimana dengan kita? Jangan-jangan, kita belum sadar kalau muka kita kebanyakan ‘ketekuk’ saat menghadapi anak-anak kita. Entah karena alasan lelah, bete, banyak kerjaan kantor, dan seribu alasan lainnya. Dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ke anak lagi-lagi hanya seputar; “udah makan”, “ada PR ngga?”, “tadi kamu nakal ngga ya?”, “kamu jangan gitu”, “inget pesen mama”, “tuh kan, apa kata orang tua”, kira-kira bagaimana perasaan anak?
- Para gamers, entah itu di rumah atau di rental games semangat sekali mendengar suara-suara di games. Bahkan kalau perlu, mereka memakai headset supaya suaranya lebih jelas dan lebih seru! Karena suara yang ditampilkan di games keren dan mengasyikkan. Para pembuat games sangat serius menata suaranya, sampai anak-anak merasa bahwa, “Ini selera gue banget!”. Coba bandingkan dengan suara kita. Jangan-jangan, suara kita cenderung selalu bernada tinggi, cempreng, instruktif, dan menyebalkan. Jelas ini tentu jadi masalah. Kenapa? Karena suara bisa menjadi penghantar pesan yang baik dan bisa menghujam ke otak. Seringkali, kita mendengar seorang trainer berkisah, bertutur, atau yang sejenisnya diiringi musik indah. Terdengar lebih mengena dan masuk ke otak. Ditambah lagi, dalam komunikasi, intonasi itu penting dalam proses penyampaian pesan, karena intonasi memiliki porsi 38% penentu keberhasilan di samping bahasa tubuh yang 55% dan isi pesan yang hanya 7%. Nah masalahnya, bagaimana kalau isi pesan yg dihantar oleh games dan sejenisnya adalah pesan-pesan negatif?
- Anak-anak suka sekali mendapatkan hadiah. Meski tak selalu berbentuk barang, bisa juga berbentuk token, bintang, atau sekadar ucapan. Ini biasa di gunakan di dunia pendidikan. Intinya, anak merasa dianggap dan dimanusiakan kalau mendapatkan feedback. Coba kita lihat games. Misalnya di games DOTA. Kalau anak berhasil membunuh 2 kali dalam jeda waktu yang hampir bersamaan dapet feedback “double kill”, kalau membunuh 3 kali “triple kill”, 4 kali “ultra kill”, 5 kali “rampage”. Sedangkan di games GTA, pemain yang mencuri, membunuh, mendapatkan poin. Apa yang dirasakan anak-anak? Merasa hebat!! Tapi tunggu dulu. Sadar kah kita kalau yang diafirmasi pada beberapa contoh di atas adalah hal-hal yang negatif; membuhuh, mencuri, dan berbagai perbuatan negatif lainnya, malah mendapat poin. Pengalaman tersebut membuat terjadinya sambungan (sinaptic) di otak dan membentuk pola yang kuat. Ingat, segala informasi yang masuk dari panca indera akan membentuk struktur berpikir. Struktur berpikir akan merubah struktur otak. Struktur otak akan membentuk struktur kepribadian. Apa jadinya perilaku anak-anak kita? Sudah banyak tampak faktanya di sekeliling kita?
- Games ‘mengizinkan’ anak-anak bermain dan berkelana sesuai dengan keinginannya, mencoba kemampuan dirinya, menyuguhkan tantangan, dan membuat anak merasa ‘mampu Kita? Sedikit-sedikit bilang; “Main mulu”, “Jangan kemana-mana”, “Ini aja, nggak usah yang itu, percaya deh sama orang tua.”. APA YANG SALAH? Mari kita lihat lagi Q.S. Ali Imran ayat 159: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang bertawakal kepada-Nya”.
Semoga kita tak lupa untuk berlemah lembut terhadap anak-anak kita. Menghindari kata-kata kasar, dan selalu berdo’a untuk buah hati yang kita cinta. Semoga masih ada kesempatan dan kekuatan untuk berubah, mulai saat ini, mulai detik ini. Hadirkan diri kita yang indah, nyaman dan menyenangkan ditengah anak-anak kita, sehingga mereka mau berlekat-lekat dengan kita.
Sumber: Buku Parentime, Hilman Al Madani
Leave a Comment