Hidup itu seperti kita menaiki roller coaster. Ini bukan hanya tentang rasa takut dan senang tapi lebih dalam lagi. Apa kalian menyadarinya? Jika belum mari mengenal Cognitive Behavior Therapy bersama Saktiyono B. Purwoko, M.Psi, Psikolog.
3 Orang Fasilitator Flexi School bersama belajar selama 8 kali sesi kelas yang diadakan @Psikolog_sakti dengan tema Mindfulness Based Cognitive Therapy.
Cognitive Behavior Therapy atau CBT adalah salah satu jenis psikoterapi yang ditemukan oleh Aaron Beck setelah dia menangani pasian depresi. Dalam CBT terdapat intervensi psikologi yang terstruktur atau terdapat urutannya, berjangka pendek dalam proses konselingnya. Beriorientasi saat ini (here and now) seperti situasi hari-hari ini yang membuat kita tertekan, ditujukan untuk penyelesaian masalah, dan mengubah pikiran serta perilaku yang difungsional seperti situasi yang mengganggu.
CBT menawarkan analisis mendalam dalam melihat fenomena tersebut. Melalui model CBT kita dapat menganalisis melalui situasi spesifik, pikiran otomatis yaitu pikiran saat itu juga yang muncul akibat situasi spesifik, dan emosi. Menaiki roller coaster dapat dimasukan ke dalam situasi spesifik, lalu pikiran otomatis pada femonena yang terjadi terbagi atas dua yaitu: “Dengan menaiki roller coaster saya dapat melihat pemandangan indah yang tidak mungkin bisa dilihat di bawah” dan “Dengan menaiki roller coaster saya akan jatuh dan mati”. Pada akhirnya akan menimbulkan dua emosi yaitu bahagia dan takut. Dua emosi ini lah yang menyebabkan jantung berdebar dengan cepat dan pada akhirnya kita berteriak.
Lalu apa yang harus dilakukan jika rasa takut itu muncul? Apa akan membiarkannya? Atau mencoba menganalisisnya? Jika kita ingin menjadi lebih baik lagi maka jalan terbaik adalah mencari titik kesalahannya melalui proses analisis. Dalam melihat rasa takut yang terjadi CBT mengajarkan kita untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan merespon pikiran serta keyakinan disfungsionalnya.
Proses yang pertama adalah mengidentifikasi, setelah menaiki roller coaster tersebut kita harus melalukan identifikasi masalah seberapa jauh (dalam hitungan skala 0 – 10) saya takut mati akibat menaiki roller coaster. Jika skala itu menunjukan angka 9, maka tugas kita adalah menurunkan skala tersebut sehingga rasa takut yang kita alami dapat dikendalikan.
Langkah berikutnya adalah mengevaluasi, setelah mengetahui permasalahan yang terjadi melalui identifikasi, kita harus mengubahnya melalui soqratic questioning seperti: “kenapa ya saya takut padahal kan sudah ada pengamanan?”atau “padahal kan sudah ada pengawas keamanan yang siap siaga jika terjadi masalah, kenapa saya harus takut?”.
“Wahana ini kan sudah pasti sesuai dengan standarisasi, kenapa saya harus takut?”, dan “Sudah berulang-ulang kali saya menaiki wahana ini dan tidak terjadi apa-apa, kenapa saya harus takut?”
Melalui dua proses di atas diharapkan memunculkan respon baru yang lebih adaptif seperti “Sampai hari ini, tidak ada bukti bahwa saya pernah jatuh dari roller coaster”.
Respon baru tersebut akan menciptakan perasaan baru, yang tadinya rasa takut berada di level 9, maka akan turun ke level 5, dan penurunan debar jantung yang sebelumnya jantung berdebar dengan cepat. Tentunya repons yang baik ini akan meningkatkan kemampuan adaptif kita dalam melihat suatu hal (Pada kasus ini adalah roller coaster).
Sehingga kita dapat menjadi individu yang lebih baik lagi ke depannya serta menjadi lebih percaya dari jika mengalami suatu permasalahan, tidak hanya pada kasus di atas, tetapi di contoh-contoh kasus kehidupan lainnya. (Fauzi)