Pendahuluan: Mengapa Siswa Perlu Belajar Design Thinking?
Di dunia yang berubah begitu cepat, siswa tidak cukup hanya dibekali dengan kemampuan menghafal atau sekadar menyelesaikan soal. Mereka perlu dilatih untuk menghadapi tantangan nyata dalam hidup. Baik tantangan pribadi seperti bingung menentukan minat, stres karena ekspektasi sekitar, maupun tantangan sosial seperti masalah lingkungan, ketimpangan akses pendidikan, atau kurangnya ruang aman bagi remaja untuk berekspresi.
Sayangnya, banyak anak muda yang cerdas secara akademik justru bingung saat dihadapkan pada masalah nyata. Mereka terbiasa diberi soal dan jawaban, bukan diajak berpikir tentang bagaimana mengenali masalah, merumuskan akar persoalan, dan mencoba menemukan solusi secara mandiri.
Di sinilah design thinking hadir sebagai pendekatan yang relevan dan membumi.
Design thinking bukan sekadar metode untuk desainer produk atau arsitek teknologi. Ia adalah sebuah cara berpikir dan bekerja yang bisa digunakan oleh siapa saja (termasuk siswa SMP dan SMA) untuk memahami masalah secara empatik dan menemukan solusi yang tepat guna.
Bagi siswa Flexi School, pendekatan ini menjadi sangat penting karena:
- Siswa belajar menghadapi masalah diri sendiri secara sadar.
Mereka tidak hanya curhat atau menghindar, tapi berlatih mengenali apa yang sebenarnya terjadi dalam diri mereka dan mencoba memperbaikinya secara aktif. - Siswa terlatih menyumbangkan solusi bagi lingkungan sekitarnya.
Melalui proyek berbasis masalah (problem-based projects), mereka bisa melihat kondisi nyata di sekitar, lalu bergerak membuat perubahan sekecil apa pun. - Design thinking terintegrasi secara langsung dengan proyek berbasis Scrum.
Proses design thinking bisa menjadi landasan awal sebelum sprint dimulai, dan membantu siswa menghasilkan solusi yang lebih matang dan kontekstual.
Di Flexi School, kami percaya bahwa siswa bukan hanya penerima pengetahuan, tapi juga pencipta solusi. Oleh karena itu, design thinking tidak diajarkan sebagai teori belaka, tapi dipraktikkan langsung melalui proyek-proyek yang bermakna. Baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat.
Artikel ini akan membimbing siswa dan fasilitator Flexi School untuk memahami dan menerapkan design thinking secara bertahap, mudah, dan kontekstual. Mulai dari proses empati hingga uji coba solusi, semua akan dikemas dalam bahasa sederhana dan langkah-langkah yang bisa langsung diterapkan di kelas, dalam sesi proyek, maupun dalam kehidupan sehari-hari siswa.
Karena pada akhirnya, tujuan pendidikan bukan hanya membuat siswa pintar menjawab soal, tapi membentuk mereka menjadi manusia yang mampu menyelesaikan masalah nyata dengan empati, kreativitas, dan keberanian.
Bagian 1: Apa Itu Design Thinking?
Design thinking adalah cara berpikir dan bekerja untuk menyelesaikan masalah dengan memahami kebutuhan orang lain terlebih dahulu, sebelum langsung membuat solusi. Metode ini digunakan oleh banyak perusahaan besar, startup, bahkan lembaga sosial untuk menciptakan solusi yang benar-benar dibutuhkan, bukan yang asal jadi.
Tapi jangan salah, design thinking bukan hanya untuk desainer atau orang dewasa. Siswa SMP dan SMA juga bisa, bahkan perlu mempelajarinya. Karena setiap hari, kalian juga menghadapi berbagai masalah: dari tugas yang menumpuk, konflik pertemanan, sampai keresahan melihat sampah di sekolah atau teman yang dibully.
Dengan design thinking, siswa belajar melihat masalah dengan kacamata empati, berpikir kreatif, dan mencoba solusi secara bertahap, bukan langsung “instan jadi”. Inilah yang membuat design thinking cocok untuk pendidikan masa kini: menumbuhkan kemampuan problem solving yang cerdas dan bermakna.
🔄 Lima Tahapan Design Thinking (Versi Praktis untuk Pelajar)
Berikut ini adalah lima langkah utama dalam design thinking, disederhanakan agar mudah dipahami dan diterapkan oleh siswa Flexi School:
1. Empathize – Berempati
Sebelum mencari solusi, kita harus benar-benar memahami masalah dan merasakannya dari sudut pandang orang yang mengalaminya. Ini bisa dilakukan dengan:
- Mengamati lingkungan sekitar
- Mendengarkan cerita teman atau orang tua
- Bertanya langsung tentang apa yang mereka rasakan
- Melakukan refleksi diri lewat journaling
Contoh:
Ali menyadari bahwa temannya sering terlihat murung dan tidak semangat saat belajar. Setelah ngobrol, ia tahu bahwa temannya sedang stres karena nilai ulangan yang terus menurun dan tidak tahu harus mulai belajar dari mana.
2. Define – Merumuskan Masalah
Setelah memahami lebih dalam, kita harus merumuskan masalah dengan jelas. Bukan cuma gejalanya, tapi akar penyebabnya.
Gunakan kalimat seperti ini:
“Aku ingin membantu [siapa] yang mengalami [masalah apa] karena [penyebabnya].”
Contoh:
Aku ingin membantu teman sekelasku yang merasa malas belajar karena dia tidak tahu cara belajar yang cocok dengan dirinya.
3. Ideate – Mencari Banyak Ide Solusi
Di tahap ini, semua ide dikeluarkan dulu. Tidak ada ide yang salah. Semakin banyak ide, semakin besar peluang menemukan solusi yang cocok.
Bisa dilakukan dengan:
- Brainstorming kelompok
- Mind mapping
- Metode “Crazy 8s” (8 ide dalam 8 menit)
Contoh:
Ali dan kelompoknya mencetuskan berbagai ide: membuat video motivasi belajar, menciptakan ruang belajar santai, membuat panduan belajar sesuai tipe belajar (visual, audio, kinestetik), dll.
4. Prototype – Membuat Wujud Nyata
Ide yang sudah dipilih akan dibuat bentuk awalnya. Bukan versi sempurna, tapi cukup untuk diuji. Bentuk prototipe bisa berupa:
- Poster
- Brosur
- Simulasi interaksi
- Video pendek
- Aplikasi sederhana (bisa sketsa dulu)
Contoh:
Kelompok Ali membuat prototipe booklet “Kenali Gaya Belajarmu” dalam bentuk PDF sederhana berisi kuis gaya belajar dan tips-tips ringkas.
5. Test – Uji Coba & Ambil Masukan
Terakhir, kita harus mencoba solusi tersebut kepada pengguna atau orang yang mengalami masalah. Dari sana, kita akan dapat:
- Masukan apa yang bagus
- Hal-hal yang harus diperbaiki
- Saran untuk pengembangan lebih lanjut
Contoh:
Ali membagikan booklet ke teman-temannya, lalu meminta mereka mengisi feedback. Ada yang merasa terbantu, tapi ada juga yang bilang ingin versi yang bisa diakses lewat HP. Ini menjadi masukan untuk iterasi selanjutnya.
💬 Apa Bedanya dengan Cara Biasa?
Cara Konvensional | Design Thinking |
---|---|
Langsung cari solusi | Memahami masalah dulu |
Fokus pada satu jawaban | Terbuka pada banyak kemungkinan |
Tidak uji coba | Selalu uji dan revisi |
Solusi dibuat sendiri | Solusi dibuat bersama, dengan empati |
Berorientasi benar/salah | Berorientasi pada kebermanfaatan |
Design thinking bukan cara ajaib yang langsung memecahkan semua masalah. Tapi ini adalah proses yang membantu kita menjadi lebih peka, kreatif, dan reflektif dalam menghadapi tantangan. Dan yang paling penting, metode ini mengajarkan kita bahwa tidak apa-apa gagal, asal kita terus belajar dan memperbaiki diri.
Itulah mengapa design thinking sangat cocok digunakan oleh siswa Flexi School: karena kita ingin mencetak anak-anak muda yang tidak hanya pintar di kelas, tapi juga mampu menyelesaikan masalah di dunia nyata, mulai dari dirinya sendiri hingga masyarakat luas.

Bagian 2: Kenapa Design Thinking Relevan untuk Siswa?
Banyak orang mengira bahwa kemampuan menyelesaikan masalah hanya penting untuk orang dewasa, pebisnis, atau pemimpin. Padahal, justru remaja saat ini menghadapi begitu banyak tantangan yang tidak kalah kompleks, baik dalam kehidupan pribadi maupun di lingkungan sosialnya. Mereka hidup di zaman yang penuh tekanan, perubahan cepat, dan sering kali kebingungan mencari arah hidup.
Berikut adalah alasan mengapa design thinking sangat relevan untuk siswa SMP dan SMA, khususnya di Flexi School:
1. Siswa Mengalami Masalah Pribadi Sejak Dini
Banyak siswa remaja sudah mengalami kebingungan seperti:
- Tidak tahu bagaimana mengatur waktu belajar
- Merasa malas tanpa tahu kenapa
- Bingung menentukan minat dan cita-cita
- Stres karena tekanan orang tua atau sosial media
- Sulit mengelola emosi dan konflik dengan teman
Masalah ini tidak bisa diatasi hanya dengan nasihat atau motivasi. Siswa perlu alat pikir yang membuat mereka mampu memahami perasaan dan situasi mereka sendiri, lalu mencari solusi yang sesuai. Design thinking melatih mereka untuk berpikir jernih, empatik, dan bertahap dalam menghadapi masalah.
2. Siswa Mulai Peduli dengan Lingkungan Sosial
Banyak siswa Flexi School menunjukkan kepekaan terhadap isu-isu sosial di sekitarnya. Mereka:
- Resah melihat banyak sampah di area publik
- Terganggu dengan kebiasaan teman membully
- Prihatin pada teman sebaya yang putus sekolah
- Ingin membantu anak-anak kecil belajar membaca
Tapi kadang mereka bingung harus mulai dari mana. Design thinking membantu mereka menyalurkan kepedulian itu menjadi aksi nyata. Mereka tidak hanya tahu bahwa ada masalah, tapi bisa bergerak menyusun solusi berdasarkan empati dan kreativitas.
3. Design Thinking Sejalan dengan Filosofi Flexi School
Di Flexi School, siswa bukan sekadar murid pasif yang menunggu perintah. Mereka adalah:
- Penjelajah ide
- Pemikir kritis
- Pemilik proyek
- Pembuat solusi
Design thinking menjadi pendekatan yang mendukung nilai-nilai ini karena:
- Mengajak siswa aktif mendefinisikan masalah sendiri
- Mendorong mereka berkolaborasi dan berpikir bebas
- Menumbuhkan rasa percaya diri lewat uji coba dan revisi
Pendekatan ini sangat cocok dengan metode proyek berbasis Scrum yang sudah dijalankan di Flexi School. Design thinking bisa digunakan sebagai pra-proyek untuk memahami masalah dan membentuk arah solusi, lalu ditindaklanjuti melalui Sprint dan backlog tugas.
4. Design Thinking Menumbuhkan Kemandirian dan Ketahanan Mental
Dalam design thinking, kegagalan bukan akhir. Justru bagian dari proses. Siswa akan terbiasa:
- Menghadapi kritik
- Menerima masukan
- Melihat kegagalan sebagai umpan balik
- Memperbaiki ide dan mencoba lagi
Proses ini sangat berharga dalam membentuk mental tangguh dan mandiri, terutama di era yang menuntut orang bisa terus belajar, beradaptasi, dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat.
5. Design Thinking Tidak Butuh Fasilitas Mewah
Yang dibutuhkan hanya:
- Observasi dan empati
- Kemauan untuk bertanya dan mendengarkan
- Kertas, alat tulis, dan kemauan untuk mencoba
Dengan pendekatan ini, siswa bisa membuat perubahan bahkan dari rumah sendiri. Design thinking bisa dilakukan dalam ruang tamu, kelas kecil, atau saat sesi diskusi kelompok. Justru karena kesederhanaannya, ia bisa langsung diterapkan dalam kegiatan belajar sehari-hari.
Design thinking bukan metode tambahan, melainkan bagian penting dari proses belajar di Flexi School. Ia membantu siswa menyelesaikan masalah secara sistematis, melatih empati dan kreativitas, serta membangun karakter pemecah masalah yang siap menghadapi tantangan nyata, bukan hanya soal ujian.
Bagian 3: Proses Design Thinking Siswa Flexi School
Pendahuluan: Menyentuh Akar Masalah Diri dan Masyarakat
Di Flexi School, proyek bukan sekadar kegiatan untuk mengisi waktu atau menggugurkan tugas. Setiap proyek adalah upaya nyata siswa untuk menyelesaikan masalah yang benar-benar mereka alami atau amati di sekitar mereka. Karena itu, sebelum sebuah proyek dimulai, siswa perlu terlebih dahulu memahami:
Masalah apa yang benar-benar penting untuk diselesaikan?
Jawaban dari pertanyaan ini tidak datang dari guru atau fasilitator, melainkan dari siswa sendiri. Melalui proses empati, refleksi, dan pengamatan yang jujur.
Inilah mengapa Design Thinking menjadi pendekatan yang sangat penting di awal proyek besar siswa. Metode ini memberikan kerangka berpikir yang terstruktur, manusiawi, dan fleksibel untuk memahami masalah secara mendalam sebelum menyusun solusi yang relevan dan bermanfaat.
Proyek Berbasis Masalah Diri dan Masyarakat: Dua Arah yang Saling Menguatkan
Kami percaya bahwa masalah terbesar yang perlu diselesaikan siswa tidak selalu berasal dari luar. Justru seringkali dimulai dari dalam diri:
- Bingung dengan arah hidup dan passion
- Tidak percaya diri untuk tampil atau berbicara
- Malas belajar dan kehilangan semangat
- Ketergantungan pada gadget atau games
- Kecemasan menghadapi masa depan
Masalah-masalah ini nyata, mengakar, dan sering diabaikan dalam sistem pendidikan biasa. Di Flexi, masalah seperti ini bukan ditutupi, tapi dijadikan bahan proyek besar. Karena hanya dengan menyentuh akar masalah diri, seseorang bisa tumbuh dengan utuh dan otentik.
Di sisi lain, siswa juga diajak untuk menyadari masalah yang ada di sekitarnya, seperti:
- Anak-anak di kampung sekitar yang tidak bisa belajar daring
- Sampah jajanan yang berserakan di lingkungan rumah
- Banyak remaja sebaya yang kehilangan semangat hidup
- Kesenjangan digital dan keterbatasan literasi keluarga
Gabungan antara masalah diri dan masyarakat inilah yang menjadi kekuatan utama proyek siswa Flexi. Saat siswa menyelesaikan masalah luar, mereka sekaligus menyembuhkan dan menumbuhkan dirinya sendiri.
Design Thinking sebagai Tahap Pra-Proyek dalam Scrum
Di Flexi School, proyek siswa dikelola menggunakan metode Scrum, sebuah pendekatan kerja kolaboratif yang digunakan dalam dunia kerja nyata. Namun, sebelum masuk ke Sprint Planning dan backlog task, siswa perlu punya visi dan arah yang jelas:
Apa masalah yang ingin mereka selesaikan? Siapa yang terdampak? Mengapa ini penting bagi mereka?
Proses design thinking digunakan sebagai Sprint 0 atau fase eksplorasi awal proyek. Ini adalah tahap di mana siswa:
- Melakukan empati dan observasi
- Menggali isu yang paling relevan dengan diri dan lingkungannya
- Mendifinisikan masalah dengan tajam
- Membentuk gagasan awal tentang kemungkinan solusinya
Tanpa tahapan ini, proyek berisiko menjadi kegiatan asal-asalan, tidak bermakna, atau hanya meniru proyek orang lain.
Tujuan Utama Tahapan Design Thinking dalam Proyek Siswa
- Membantu siswa menggali masalah dari pengalaman nyata, bukan teori.
- Menumbuhkan empati yang kuat terhadap orang lain maupun diri sendiri.
- Melatih siswa menyusun kerangka masalah yang fokus dan tajam.
- Menghasilkan ide solusi yang benar-benar dibutuhkan dan bisa diuji.
- Menghubungkan proses berpikir reflektif ke aksi nyata dalam proyek.
🔍 Contoh Kasus Nyata
Beberapa proyek siswa Flexi yang dimulai dari proses design thinking:
- “Escape from Distraction” → Proyek siswa yang kecanduan gadget dan ingin menciptakan program detoks digital untuk teman sekelasnya.
- “Kelas Jalanan” → Proyek yang muncul setelah siswa melakukan observasi dan menyadari anak-anak di sekitar mereka tidak memiliki akses belajar.
- “Teman Dengar” → Proyek menciptakan forum curhat terbuka karena siswa merasa sendiri dan tidak punya tempat aman untuk cerita.
Di bagian berikutnya, kita akan menguraikan secara rinci setiap tahap dalam proses design thinking, lengkap dengan contoh, praktik kelas, dan alat bantu yang bisa digunakan oleh siswa maupun fasilitator.
Karena menyelesaikan masalah tidak cukup dengan niat baik, perlu proses yang terarah, penuh empati, dan bisa diuji.
Bagian 3.1: Empathize – Mengenali Masalah Lewat Kacamata Orang Lain dan Diri Sendiri
Setiap proyek besar yang bermakna selalu dimulai dari pemahaman yang dalam terhadap masalah. Tapi pemahaman ini tidak cukup hanya dari pikiran atau asumsi pribadi. Kita perlu berempati. Yaitu masuk ke dalam dunia orang lain, mencoba melihat dan merasakan masalah dari sudut pandang mereka. Termasuk jika yang mengalami masalah adalah diri kita sendiri.
Di tahap ini, siswa Flexi School dilatih untuk menjadi pengamat yang peka dan pendengar yang baik.
🎯 Tujuan Tahap Empathize:
- Menyadari bahwa tidak semua masalah terlihat di permukaan
- Menumbuhkan rasa peduli terhadap diri dan lingkungan
- Mendapatkan informasi otentik yang nantinya jadi dasar proyek
- Menghindari asumsi yang keliru saat menyusun solusi
🔍 Empati ke Diri Sendiri: Menyelam ke Dalam Kesadaran Pribadi
Sebelum menyelamatkan orang lain, kita perlu mengenal dan menolong diri sendiri. Banyak siswa memiliki masalah pribadi yang selama ini tidak disadari karena terlalu sibuk atau takut untuk jujur pada diri sendiri.
Di Flexi School, siswa diajak untuk berhenti sejenak dan bertanya:
“Apa masalah paling nyata yang aku alami sekarang?”
“Apa yang membuatku resah, tertekan, bingung, atau kehilangan arah?”
“Apa yang membuat aku tidak berkembang?”
💡 Aktivitas Praktis: Journaling Refleksi Diri
Fasilitator bisa membimbing siswa menulis refleksi harian atau mingguan seperti:
- 3 hal yang membuatku stres akhir-akhir ini
- Kapan terakhir kali aku merasa putus asa? Kenapa?
- Apa kebiasaan burukku yang aku ingin ubah, tapi sulit?
Refleksi ini bisa menjadi bibit proyek yang sangat personal dan kuat, misalnya:
- Proyek membangun sistem belajar pribadi bagi siswa yang malas belajar
- Proyek detoks media sosial untuk siswa yang overthinking dan perfeksionis
- Proyek membangun kebiasaan tidur sehat untuk siswa yang kecanduan gadget malam hari
🔄 Empati ke Orang Lain: Melihat dari Perspektif yang Berbeda
Setelah menggali ke dalam, siswa diajak untuk melihat keluar. Mereka melakukan observasi dan wawancara sederhana ke lingkungan sekitar, keluarga, tetangga, teman, bahkan komunitas lokal.
Fasilitator bisa membimbing dengan pertanyaan pancingan seperti:
- Masalah apa yang kamu lihat di sekitar rumah atau lingkunganmu?
- Siapa yang menurutmu hidupnya tidak mudah? Apa tantangan mereka?
- Apa yang orang lain alami, tapi jarang kamu sadari sebelumnya?
💡 Aktivitas Praktis: Mini Interview atau Observasi Lapangan
- Siswa mewawancarai 1–2 orang tentang tantangan hidup mereka
- Atau melakukan pengamatan langsung ke tempat umum (masjid, taman, jalan kecil, warung) dan mencatat hal-hal yang menarik perhatian mereka
Contoh Catatan Observasi:
“Di sekitar rumahku, ada warung kecil yang selalu ramai anak-anak SD. Tapi sampah bungkusnya berserakan. Penjual tidak punya tempat sampah. Anak-anak juga seperti tidak peduli.”
“Tanteku sudah tua dan tinggal sendiri. Ia tidak tahu cara pakai HP untuk pesan makanan atau konsultasi kesehatan online. Dia kesepian dan tidak tahu harus bagaimana.”

💬 Peran Fasilitator di Tahap Ini:
- Menciptakan ruang aman agar siswa bisa jujur dan tidak takut membicarakan masalahnya
- Membimbing tanpa menghakimi atau “memberi solusi duluan”
- Menyediakan waktu khusus untuk diskusi kelompok kecil atau sharing 1-on-1
🌱 Dari Empati Menjadi Akar Proyek
Di akhir tahap ini, siswa akan mengantongi beberapa pilihan masalah, baik dari dalam diri maupun dari lingkungan sosial. Mereka akan memilih satu masalah yang benar-benar menyentuh hati mereka, dan inilah yang akan mereka bawa ke tahap selanjutnya: Define (Merumuskan Masalah).
Karena proyek terbaik bukan dimulai dari ide keren, tapi dari empati yang tulus dan pemahaman yang mendalam terhadap kehidupan nyata.
Bagian 3.2: Define – Merumuskan Masalah Secara Tajam
Setelah siswa mengumpulkan berbagai temuan dari proses empati, baik dari refleksi diri maupun observasi sosial. Tahap selanjutnya adalah menyusun masalah secara fokus, tajam, dan terarah. Ini penting, karena banyak proyek gagal bukan karena idenya buruk, tapi karena tidak memahami apa sebenarnya masalah yang ingin diselesaikan.
Bagi siswa Flexi School, tahap Define adalah momen untuk mengubah kebingungan menjadi kejelasan. Mereka belajar menyaring semua keresahan menjadi satu pernyataan masalah yang jelas, bisa ditindaklanjuti, dan terhubung dengan makna pribadi.
🎯 Tujuan Tahap Define:
- Memfokuskan perhatian pada satu masalah utama yang akan dijadikan proyek
- Menyusun rumusan masalah yang konkret, bukan kabur
- Menghindari generalisasi atau pernyataan masalah yang terlalu luas
- Menyusun fondasi kuat untuk mencari solusi yang tepat guna
✍️ Kriteria Masalah yang Layak Jadi Proyek
Agar masalah bisa dikembangkan menjadi proyek besar yang bermakna, fasilitator dapat membimbing siswa menggunakan panduan sederhana:
Pertanyaan | Penjelasan |
---|---|
Apakah masalah ini nyata dan bisa diamati? | Bukan hanya perasaan umum seperti “aku bosan”, tapi sesuatu yang bisa diidentifikasi |
Apakah masalah ini penting untukku secara pribadi atau sosial? | Harus punya keterkaitan emosional, bukan sekadar ikut-ikutan |
Apakah masalah ini cukup spesifik untuk dijawab? | Hindari rumusan terlalu umum seperti “remaja sekarang banyak masalah” |
Apakah masalah ini bisa aku bantu selesaikan (meskipun kecil)? | Bukan masalah global yang di luar jangkauan, tapi cukup menantang untuk siswa lakukan |
💡 Teknik Praktis: POV (Point of View) Statement
Untuk menyusun masalah dengan tajam, siswa bisa menggunakan format kalimat yang sederhana tapi sangat kuat, yaitu:
Aku ingin membantu [siapa] yang mengalami [masalah apa] karena [penyebabnya].
Contoh hasil dari proses empati:
Aku ingin membantu temanku yang merasa tidak percaya diri untuk berbicara di depan umum karena dia takut dinilai dan pernah dipermalukan waktu SD.
Aku ingin membantu anak-anak di sekitar rumahku yang tidak semangat belajar karena orang tua mereka tidak tahu cara mendampingi mereka belajar.
Pernyataan semacam ini membantu siswa menghindari dua kesalahan umum:
- Masalah terlalu luas atau kabur → misalnya, “Remaja banyak yang stres.”
- Masalah tidak fokus pada pengguna atau penerima manfaat → misalnya, “Aku ingin membuat aplikasi edukasi.” (tanpa tahu siapa yang butuh dan kenapa)
🔧 Aktivitas Kelas: Menyusun Pernyataan Masalah
- Siswa menuliskan 2–3 poin penting dari hasil empati (dari jurnal, wawancara, observasi).
- Fasilitator membantu siswa menyaring dan memilih satu masalah utama yang paling relevan dan bermakna.
- Gunakan format POV Statement untuk menyusun masalah.
- Siswa membacakan rumusannya dalam kelompok kecil untuk mendapat masukan:
- Apakah ini sudah cukup spesifik?
- Siapa target penerima manfaatnya?
- Apakah ini menyentuh akar masalah?
🧩 Contoh Transformasi dari Empati ke Masalah Terdefinisi
Hasil Empati | Rumusan Masalah (Define) |
---|---|
Teman sering tidak fokus belajar karena kecanduan TikTok | Aku ingin membantu temanku yang kesulitan fokus belajar karena terlalu sering membuka TikTok saat jam belajar |
Banyak anak kecil di kampungku belum bisa membaca | Aku ingin membantu anak-anak di kampungku yang kesulitan membaca karena tidak ada bimbingan belajar yang terjangkau |
Aku sendiri sering susah bangun pagi dan jadi telat kelas | Aku ingin membantu diriku sendiri agar bisa bangun lebih awal karena aku merasa tidak semangat dan kurang tidur malam |
🧰 Tools Tambahan (Opsional):
- Template “Pilih Masalah Utama”: daftar masalah dari hasil empati + skor prioritas + alasan memilih
- POV Builder Worksheet: versi bertahap dari kalimat “aku ingin membantu…” lengkap dengan panduan siapa–apa–mengapa
👩🏫 Peran Fasilitator di Tahap Define
- Menjadi cermin yang memantulkan kejelasan: apakah siswa sudah menemukan fokus?
- Tidak buru-buru menyarankan solusi
- Mendorong siswa menyempitkan masalah, bukan melebarkannya
- Menggunakan teknik coaching: “Mengapa ini penting bagimu?” “Apa dampaknya?” “Siapa yang paling perlu dibantu?”
🧠 Kenapa Tahapan Ini Penting?
Tanpa definisi masalah yang tajam, siswa akan:
- Bingung saat brainstorming ide
- Menghasilkan solusi yang tidak relevan
- Kehilangan arah saat proyek berjalan
- Gagal mengukur apakah solusinya berhasil
Sebaliknya, dengan rumusan masalah yang jernih, proyek akan terasa lebih ringan, terarah, dan bermakna.
Karena siswa bukan hanya sedang membuat produk, mereka sedang menyelesaikan persoalan hidup, dimulai dari satu kalimat yang tepat.
Bagian 3.3: Ideate – Menciptakan Banyak Solusi dengan Kreativitas
Setelah siswa memahami masalah dengan empati dan merumuskannya secara tajam, kini saatnya masuk ke tahap yang sering dinanti: menemukan solusi. Tapi berbeda dari cara berpikir konvensional yang langsung buru-buru mengambil satu ide “yang dianggap terbaik”, pendekatan design thinking justru mengajak siswa untuk berpikir luas dulu, tidak membatasi diri, dan membuka sebanyak mungkin kemungkinan solusi.
Tahap Ideate adalah saat siswa berlatih berpikir bebas, kolaboratif, dan kreatif, tanpa takut salah. Tujuannya bukan langsung menemukan solusi final, tapi memunculkan berbagai alternatif ide sebanyak dan seunik mungkin. Karena sering kali, ide terbaik justru muncul di antara ide-ide yang tampak “gila” atau tak biasa.
🎯 Tujuan Tahap Ideate:
- Melatih siswa untuk berpikir divergen sebelum mengerucutkan ide
- Mendorong kreativitas tanpa takut salah
- Memperluas perspektif solusi: sederhana, unik, berbasis empati
- Menemukan ide yang relevan, bisa diwujudkan, dan bermakna
🚫 Kesalahan Umum yang Harus Dihindari:
- Langsung memilih satu solusi tanpa eksplorasi
- Mengecilkan ide sendiri atau ide teman (“kayaknya nggak mungkin deh”)
- Berpikir terlalu teknis duluan sebelum punya ide yang kuat
- Terjebak pada solusi klise: bikin aplikasi, bikin video, dll tanpa mempertimbangkan konteks masalah
🧠 Prinsip Dasar Brainstorming yang Harus Ditanamkan:
- Jangan menghakimi ide, seaneh apa pun
- Semakin banyak ide, semakin baik
- Bangun ide dari ide orang lain
- Gabungkan ide-ide untuk menciptakan kombinasi baru
💡 Teknik-Teknik Praktis Ideation di Kelas Flexi School
1. Mind Mapping Solusi
- Di tengah ditulis rumusan masalah
- Di sekelilingnya: berbagai ide solusi yang mungkin
- Siswa bebas membuat cabang-cabang, bahkan mengaitkan antar ide
2. Crazy 8s
- Siswa membagi kertas menjadi 8 kotak
- Dalam waktu 8 menit, mereka harus menggambar/menulis 8 ide solusi (1 menit per ide)
- Tujuannya bukan hasil rapi, tapi mendorong kecepatan berpikir bebas
3. SCAMPER
- Teknik kreatif untuk memodifikasi solusi yang sudah ada:
- Substitute (ganti bahan/cara?)
- Combine (gabungkan 2 ide?)
- Adapt (apa bisa diubah konteksnya?)
- Modify
- Put to another use
- Eliminate
- Reverse
4. Diskusi Round Table
- Setiap siswa menyampaikan satu ide
- Siswa berikutnya harus menambahkan atau mengembangkan ide sebelumnya
- Terus mengalir hingga 3–5 putaran
🔍 Contoh Hasil Ideation Berdasarkan Rumusan Masalah
Rumusan Masalah (POV):
Aku ingin membantu temanku yang kesulitan belajar karena terlalu sering membuka TikTok saat jam belajar.
Ideasi Siswa:
- Membuat tantangan “belajar 25 menit – TikTok 5 menit”
- Membuat poster pengingat zona bebas HP
- Aplikasi reminder belajar dengan suara motivasi dari teman
- Jadwal belajar kolaboratif dengan sistem check-in/check-out harian
- Program “Nonton TikTok Bareng Tapi Produktif” – review video bermanfaat
💡 Catatan: Ide tidak harus teknologi tinggi. Justru ide sederhana tapi tepat guna lebih kuat dan cepat diuji di lapangan.
🧰 Aktivitas & Tools Kelas:
- Template Brainstorm Kotak Kosong (8 kotak)
- Kartu Ide: tiap siswa menulis ide di kertas kecil, lalu ditukar antar kelompok
- Gallery Walk: siswa menempel ide di dinding/whiteboard lalu memberi stiker voting ke ide paling menarik
- Rubrik Penilaian Ide Awal (opsional): aspek relevansi, kemungkinan diwujudkan, nilai manfaat, keunikan
🧭 Dari Banyak Ide ke Seleksi Awal
Setelah puluhan ide muncul, siswa dibimbing untuk mulai menyaring:
Kriteria Seleksi Awal | Contoh Pertanyaan |
---|---|
Apakah ini bisa diwujudkan dengan sumber daya yang aku punya? | “Bisa aku kerjakan dalam waktu 2 bulan?” |
Apakah ini benar-benar bisa membantu orang yang mengalami masalah? | “Kalau temanku pakai ini, apakah masalahnya akan terbantu?” |
Apakah aku bersemangat mengerjakan ide ini? | “Ini penting buatku pribadi?” |
Dari sini, siswa bisa memilih 1–2 ide yang paling menjanjikan untuk masuk ke tahap berikutnya: Prototype.
👩🏫 Peran Fasilitator di Tahap Ideate
- Menjaga ruang brainstorming tetap aman, bebas nilai
- Memberi dorongan saat siswa mentok: “Kalau ini dilakukan anak SD, apa jadinya?” “Bagaimana kalau idemu digabung dengan ide teman?”
- Tidak menyetujui atau menolak ide, tapi mengarahkan dengan pertanyaan terbuka
- Mendorong eksplorasi lintas bidang: seni, teknologi, sosial, lingkungan
🌱 Mengapa Ini Penting dalam Proyek Diri dan Masyarakat?
Masalah pribadi dan sosial yang rumit tidak bisa diselesaikan dengan satu solusi cepat. Dengan membuat banyak alternatif ide, siswa belajar:
- bahwa solusi itu bukan satu-satunya
- bahwa proses pencarian lebih penting dari hasil instan
- dan bahwa berpikir kreatif adalah keterampilan hidup
Karena terkadang, satu ide kecil yang terasa remeh bisa menjadi perubahan besar ketika diwujudkan dengan niat dan empati.
Bagian 3.4: Prototype – Mewujudkan Ide Menjadi Produk Awal
Setelah siswa menggali empati (3.1), merumuskan masalah (3.2), dan menghasilkan berbagai ide solusi (3.3), saatnya membawa ide tersebut keluar dari kepala dan menjadi produk nyata yang bisa diuji. Inilah tahap Prototype, tahapan penting yang mengubah ide menjadi bentuk awal yang konkret, sederhana, dan bermakna.
Namun, sebelum melangkah lebih jauh, penting bagi siswa memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan produk.
🧭 Definisi Produk dalam Konteks Pendidikan Proyek
Di Flexi School, produk bukan hanya barang yang bisa disentuh atau dijual.
Produk adalah sesuatu yang memberikan nilai (value), baik dalam bentuk barang, jasa, sistem, ruang, kebiasaan, atau pengalaman yang bermanfaat bagi orang lain maupun diri sendiri.
Dengan definisi ini, maka:
- Sebuah buku saku refleksi → produk
- Poster edukasi → produk
- Forum diskusi mingguan → produk
- Aplikasi simulasi → produk
- Metode belajar mandiri → produk
- Rutinitas harian detoks gadget → produk
Yang penting bukan bentuknya, tetapi:
✅ Apakah ide ini memberi manfaat nyata?
✅ Apakah ide ini bisa dipahami dan digunakan oleh orang lain?
🎯 Tujuan Tahap Prototype
- Menguji apakah ide bisa diwujudkan secara nyata
- Menerjemahkan ide ke bentuk awal yang sederhana
- Mendapatkan masukan awal sebelum proyek berjalan penuh
- Melatih siswa membuat solusi yang kontekstual dan terukur
💡 Prinsip Penting dalam Membuat Prototype:
- Cukup “cukup” – Jangan tunggu sempurna, cukup bisa dipahami dan digunakan
- Murah dan cepat dibuat – Gunakan bahan seadanya: kertas, karton, presentasi digital, gambar, simulasi
- Fokus ke fungsi, bukan tampilan – Bisa digunakan atau dicoba oleh orang lain?
- Langsung diuji ke pengguna – Semakin cepat mendapat feedback, semakin baik
🛠️ Cara Membuat Prototype untuk Siswa SMP–SMA
- Pilih satu ide utama dari tahap ideasi
- Tentukan nilai manfaat produk (value) bagi pengguna
- Rancang bentuk awal dari produk: sederhana, tapi bisa digunakan
- Gunakan bahan yang ada: kertas, presentasi, Canva, PowerPoint, karton, audio, Google Form
- Siapkan pertanyaan: apa yang ingin diuji dari produk ini?
🔍 Contoh Produk dan Bentuk Prototypenya
Masalah | Ide Solusi | Prototype Produk (bernilai) |
---|---|---|
Siswa sulit fokus belajar | Buku saku 30 hari fokus | Booklet hitam putih A5 + tantangan harian |
Teman tidak punya tempat curhat | Forum “Teman Dengar” | Simulasi sesi curhat + SOP pendengar |
Anak sekitar belum bisa baca | Program baca sore | Modul belajar + poster ajakan warga |
Transportasi umum terbatas | Aplikasi tumpangan komunitas | Figma wireframe + Google Form simulasi tumpangan |
Tahap Prototype adalah jawaban dari hasil empati dan definisi masalah. Jika siswa sudah tahu siapa yang mengalami masalah, dan sudah punya ide solusi, maka kini mereka diminta membuat versi awal dari produk itu yang bisa:
- Digunakan oleh orang lain
- Diuji secara langsung
- Dipresentasikan kepada pengguna
Produk tidak harus sempurna, tapi harus bermakna dan bisa dipakai.
📄 Worksheet: Prototype Planner (Siap Cetak / Digital)
Bagian | Pertanyaan |
---|---|
Nama Produk | Apa nama idemu? |
Masalah yang Ingin Diselesaikan | Apa masalah utama produk ini jawab? |
Siapa Penggunanya? | Untuk siapa produk ini dibuat? |
Bentuk Produk | Barang? Jasa? Sistem? Pengalaman? |
Media Prototype | Kertas? Poster? Simulasi? Digital? |
Apa yang Ingin Diuji? | Apa yang ingin kamu lihat dari hasil uji coba? |
Siapa yang Akan Mencoba? | Teman? Keluarga? Komunitas? |
Apa Bahan yang Dibutuhkan? | Tulis alat & bahan yang diperlukan |
💡 Worksheet ini bisa digunakan siswa saat perencanaan prototype dan sebagai alat presentasi saat Sprint Review.
🧰 Aktivitas Kelas: Membuat & Menyajikan Prototype
- Pilih ide terkuat hasil dari tahapan ideate
- Buat sketsa atau draft tampilan di kertas
- Siswa memilih media yang paling cocok: visual, benda nyata, digital, simulasi, atau model interaksi
- Buat dalam waktu terbatas (misal 1 sesi 90 menit)
- Presentasikan ke kelompok atau fasilitator
- Simulasi penggunaan jika memungkinkan
📌 Tips: gunakan pendekatan “fail fast, learn fast”: buat, coba, perbaiki.
👩🏫 Peran Fasilitator
- Membantu siswa memahami bahwa produk bukan hanya barang
- Mendorong siswa membuat produk yang memberi manfaat, sekecil apa pun
- Menyederhanakan ekspektasi agar siswa tidak terjebak perfeksionisme
- Menghubungkan prototype ke backlog proyek (Scrum)
Tahap Prototype adalah pintu masuk menuju aksi nyata. Ini adalah momen ketika siswa berhenti hanya berbicara dan mulai membangun, mencoba, dan melihat reaksi pengguna.
Karena dalam kehidupan, ide tidak akan mengubah apa pun kalau tidak diwujudkan menjadi sesuatu yang bisa dinikmati dan dirasakan oleh orang lain.
Bagian 3.5: Test – Mencoba dan Memperbaiki Solusi Lewat Umpan Balik
Setelah ide diwujudkan dalam bentuk prototype, langkah terakhir dalam design thinking adalah mengujinya langsung kepada pengguna, orang yang mengalami masalah, atau yang akan menerima manfaat dari solusi tersebut.
Tahap ini disebut Test, bukan untuk “melihat siapa yang salah dan benar”, melainkan untuk mencari tahu:
Apakah solusi ini bekerja sebagaimana mestinya? Apakah ada yang perlu diperbaiki? Apakah solusi ini benar-benar bermanfaat bagi orang yang dituju?
Di Flexi School, tahap ini bukan akhir dari proyek, melainkan awal dari siklus perbaikan berkelanjutan. Karena setiap solusi yang baik selalu lahir dari keberanian untuk mencoba, menerima masukan, dan memperbaiki dengan rendah hati.
🎯 Tujuan Tahap Test:
- Mengukur seberapa efektif solusi yang dibuat
- Mendapatkan umpan balik langsung dari pengguna
- Menemukan aspek yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan
- Menumbuhkan mental terbuka, reflektif, dan tangguh pada siswa
🧠 Mindset yang Perlu Ditanamkan pada Siswa:
- Masukan bukan kritik pribadi.
Justru feedback adalah bahan bakar untuk tumbuh. - Solusi bukan milik pribadi.
Jika ide kita tidak cocok, bukan berarti kita gagal, tapi berarti kita mau belajar. - Kegagalan bukan akhir.
Tidak apa-apa jika solusi belum berhasil; yang penting kita mau memperbaikinya.
🛠️ Cara Melakukan Pengujian Prototype oleh Siswa
1. Pilih Target Pengguna Uji Coba
- Bisa 1–3 orang yang sesuai dengan masalah yang ingin diselesaikan
- Untuk proyek pribadi: teman sebaya, diri sendiri
- Untuk proyek sosial: tetangga, adik kelas, masyarakat sekitar
2. Berikan Penjelasan Singkat
- Ceritakan secara singkat: masalah apa yang ingin diselesaikan dan tujuan solusi ini
- Minta izin untuk meminta masukan
3. Tunjukkan atau Gunakan Prototipe
- Biarkan mereka mencoba
- Bisa dalam bentuk presentasi, simulasi, atau pemakaian langsung
4. Ajukan Pertanyaan Umpan Balik
Contoh pertanyaan reflektif:
- Apa yang kamu suka dari solusi ini?
- Apa yang menurutmu masih kurang?
- Apakah kamu merasa ini membantumu?
- Apa saranmu agar solusi ini lebih baik?
5. Catat & Evaluasi
- Tuliskan semua tanggapan
- Bahas bersama tim proyek (jika berkelompok)
- Tentukan apa yang perlu diperbaiki → ini masuk ke fase revisi
🔍 Contoh Proses Uji Coba Siswa Flexi School
Proyek: Buku saku “30 Hari Fokus” untuk mengurangi distraksi saat belajar
Pengguna: 2 teman sekelas yang sering buka HP saat belajar
Uji coba: Digunakan selama 3 hari
Hasil:
- Positif: Membantu ingat waktu belajar, suka checklist harian
- Perlu perbaikan: Terlalu banyak teks, tidak praktis dibawa
Tindakan lanjut: Revisi layout → ubah jadi format kartu kecil atau stiker

🔄 Koneksi ke Scrum: Sprint Review & Retrospective
Tahapan test ini selaras dengan:
- Sprint Review: Solusi diuji dan ditunjukkan kepada pengguna/pemangku kepentingan
- Sprint Retrospective: Siswa merefleksikan prosesnya → apa yang berjalan baik, apa yang perlu ditingkatkan
Hasil test bisa dijadikan dasar backlog baru di sprint berikutnya. Jadi siklus perbaikan terus berjalan secara agile.
👩🏫 Peran Fasilitator di Tahap Test
- Menciptakan suasana aman untuk menerima kritik
- Membimbing siswa agar fokus pada masukan, bukan emosinya
- Mencontohkan cara menyampaikan feedback yang konstruktif
- Menekankan bahwa keberhasilan bukan berarti “sempurna”, tapi “bermanfaat bagi orang lain”
🌱 Mengapa Test Penting untuk Proyek Diri dan Masyarakat?
Karena di dunia nyata:
- Tidak semua niat baik menghasilkan dampak baik
- Tidak semua solusi logis terasa membantu bagi orang lain
- Dan tidak semua ide keren akan relevan tanpa masukan nyata
Melalui proses test, siswa belajar bahwa menjadi problem solver bukan tentang menjadi benar, tapi tentang menjadi bermanfaat dan bertumbuh.
Karena pendidikan bukan melahirkan anak-anak yang takut salah, tapi yang mau mencoba, berani mendengarkan, dan siap memperbaiki.
Dengan berakhirnya tahap Test, maka selesai sudah proses design thinking siswa Flexi School. Namun sejatinya, ini bukan akhir, justru awal dari pembelajaran berkelanjutan.
Selanjutnya, siswa akan:
- Membawa hasil test ini ke proyek berbasis Scrum
- Menjadikan masukan sebagai peta jalan dalam sprint mingguan
- Melanjutkan proses belajar dan perbaikan sebagai bagian dari siklus kehidupan
Bagian 3 – Refleksi: Design Thinking sebagai Fondasi Proyek Diri dan Masyarakat
Setelah menjalani lima tahapan design thinking: Empathize, Define, Ideate, Prototype, dan Test. Siswa Flexi School tidak hanya menyusun proyek, tetapi juga menjalani proses pendewasaan berpikir yang luar biasa. Mereka belajar bahwa menyelesaikan masalah bukan soal “punya ide keren”, tetapi tentang melihat dengan hati, berpikir dengan jernih, dan bertindak dengan penuh tanggung jawab.
Rangkaian tahapan ini membentuk pola belajar yang utuh dan berulang, sangat selaras dengan semangat agile learning yang diterapkan di Flexi School: siswa bertumbuh bukan karena diberi tahu, tapi karena mengalami sendiri proses berpikir, mencoba, dan memperbaiki.
🧭 Apa yang Dipelajari Siswa dari Proses Ini?
- Dari Empathize, mereka belajar mendengar sebelum menilai.
Mereka menyadari bahwa masalah bukan hanya soal logika, tapi emosi dan pengalaman manusia. - Dari Define, mereka belajar menyusun kata untuk memahami dunia.
Menyaring kekacauan menjadi satu kalimat tajam adalah skill hidup. - Dari Ideate, mereka belajar berpikir luas sebelum memilih.
Tidak buru-buru memutuskan, karena semua hal besar berawal dari pilihan yang jernih. - Dari Prototype, mereka belajar berani mulai dari yang kecil dan tidak sempurna.
Bahwa aksi lebih penting daripada angan-angan. - Dari Test, mereka belajar mendengar kritik tanpa runtuh.
Karena solusi bukan milik pribadi, tapi kontribusi bagi sesama.
🔄 Dari Design Thinking ke Scrum Project
Proses design thinking ini menjadi Sprint 0, tahapan pra-proyek dalam metodologi Scrum di Flexi School. Output dari design thinking (berupa definisi masalah, ide, dan hasil uji coba) menjadi dasar:
- Sprint Backlog
- User Story
- Tujuan Sprint
- Prototipe awal yang bisa ditingkatkan dalam Sprint selanjutnya
Dengan integrasi ini, proyek siswa bukan sekadar “tugas kreatif”, tetapi benar-benar menjadi solusi nyata yang berakar dari kebutuhan diri dan masyarakat, serta berjalan dalam sistem yang adaptif dan kolaboratif.
💬 Refleksi Akhir untuk Siswa: 5 Pertanyaan Pemantik
Sebelum melangkah ke proyek besar, fasilitator dapat mengajak siswa merenung:
- Masalah apa yang paling membuatku resah saat ini?
- Mengapa aku merasa ini penting untuk diselesaikan?
- Apa solusi yang benar-benar ingin aku coba, meski belum yakin berhasil?
- Apa yang aku pelajari dari proses ini tentang diriku sendiri?
- Jika aku gagal, apakah aku siap mencoba lagi dengan cara berbeda?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk mendapatkan jawaban yang benar, tapi untuk mengasah kepekaan, keberanian, dan kedewasaan berpikir siswa sebagai pemilik proyek.
Lebih dari Sekadar Metode, Ini Cara Hidup
Design thinking bukan sekadar metode belajar. Bagi siswa Flexi School, ini adalah:
- Cara berpikir yang sadar dan reflektif
- Cara bertindak yang peduli dan kreatif
- Cara bertumbuh yang rendah hati dan berkelanjutan
Karena dalam kehidupan nyata, kita tidak selalu diberi soal yang jelas atau jawaban yang pasti. Kita harus belajar mengamati, memahami, memilih, mencoba, dan memperbaiki. Dan itu semua sudah dilatih sejak sekarang, sejak proyek kecil ini dimulai.
“Anak-anak bukan hanya belajar membuat solusi. Mereka sedang belajar menjadi manusia yang lebih baik, lewat proses yang utuh.”
Bagian 4: Integrasi Design Thinking ke Proyek Scrum Siswa Flexi School
Setelah siswa menjalani proses design thinking secara menyeluruh, dari empati hingga uji coba solusi. Pertanyaan selanjutnya adalah:
Lalu bagaimana semua ini diimplementasikan dalam proyek siswa Flexi School yang menggunakan metode Scrum?
Di Flexi School, proyek siswa bukan tugas individu yang berdiri sendiri, tapi bagian dari sistem kerja kolaboratif yang mengikuti kerangka Scrum. Dalam kerangka ini, siswa bukan hanya mengerjakan proyek, tapi juga belajar bagaimana merancang, mengelola, dan mengeksekusi ide secara terstruktur dan reflektif, layaknya sebuah tim profesional.
Design Thinking dan Scrum bukan dua pendekatan yang saling bertentangan. Justru keduanya saling melengkapi:
- Design Thinking membantu siswa memahami *“masalah apa yang harus diselesaikan dan kenapa itu penting”
- Scrum membantu siswa *menyusun langkah-langkah untuk mewujudkan solusinya secara bertahap dan terukur
🔄 Design Thinking sebagai “Sprint 0” dalam Scrum
Dalam praktik proyek siswa di Flexi School, tahapan design thinking diintegrasikan secara penuh ke dalam fase awal proyek yang disebut Sprint 0.
Tahapan Design Thinking | Fungsi dalam Scrum |
---|---|
Empathize | Menggali kebutuhan dan konteks masalah sebagai dasar user story |
Define | Merumuskan goal proyek dan merinci siapa pengguna yang ingin dibantu |
Ideate | Menghasilkan solusi awal untuk dibawa ke backlog awal |
Prototype | Menyusun bentuk awal solusi sebelum sprint pertama dimulai |
Test | Mendapatkan validasi awal untuk menyusun prioritas tugas di sprint |
Dengan pendekatan ini, siswa tidak langsung “mengeksekusi proyek” tanpa arah. Mereka menjalani proses berpikir dan uji coba terlebih dahulu, sehingga saat masuk ke Sprint 1, mereka sudah memiliki gambaran yang lebih jelas dan matang tentang apa yang akan dikerjakan dan untuk siapa.
📋 Contoh Nyata Integrasi Design Thinking ke Scrum Proyek Siswa
🧩 Contoh Proyek: “Teman Dengar” – Proyek Kelas 9
- Sprint 0 (Design Thinking):
- Empathize: Wawancara dengan teman yang merasa kesepian dan stres belajar
- Define: “Kami ingin membantu siswa yang merasa tidak punya tempat curhat karena tekanan akademik dan sosial.”
- Ideate: Forum curhat, sesi mendengarkan aktif, pojok aman di sekolah
- Prototype: Simulasi sesi “teman dengar” dalam kelompok kecil
- Test: Dicoba ke 3 siswa, hasilnya positif → siswa merasa lega dan didengarkan
- Sprint 1–4 (Scrum Project):
- Sprint backlog: membentuk tim fasilitator “Teman Dengar”, membuat SOP, jadwal, dan sistem pelaporan
- Review & retro mingguan: evaluasi tiap sesi, perbaikan jadwal, pelatihan ulang pendengar
Hasilnya: program ini berlanjut hingga semester berikutnya dan menjadi proyek berkelanjutan.
🔧 Langkah-Langkah Integrasi Praktis di Kelas Flexi School
- Fasilitator menetapkan Sprint 0 sebagai tahap eksplorasi wajib
- Gunakan worksheet dan diskusi reflektif
- Dorong siswa tidak terburu-buru ambil topik proyek sebelum observasi dan empati dilakukan
- Gunakan hasil design thinking sebagai input Scrum
- Hasil “Define” = landasan membuat user story
- Hasil “Ideate” = bahan backlog awal
- Hasil “Prototype & Test” = acuan prioritas sprint awal
- Dokumentasikan prosesnya dalam format board (fisik/digital)
- Kolom: masalah – solusi – siapa penerima manfaat – rencana aksi
- Hubungkan dengan kanban board dan daily stand up
- Kaitkan dengan sesi refleksi mingguan
- Apa yang berubah dari ide awal setelah diuji?
- Apakah definisi masalah perlu direvisi?
📌 Mengapa Perlu Integrasi Ini?
Tanpa design thinking, siswa berisiko:
- Memilih proyek yang hanya “ikut-ikutan” atau asal tampil
- Menyelesaikan proyek tapi gagal memahami mengapa dan untuk siapa
- Menghabiskan waktu dan energi untuk solusi yang tidak relevan
Dengan integrasi ini, siswa:
- Mengerjakan proyek dengan makna dan kesadaran penuh
- Membentuk hubungan kuat antara masalah yang dirasakan dan solusi yang dikerjakan
- Melatih kemampuan project ownership dan tanggung jawab sosial
👩🏫 Peran Fasilitator dalam Menggabungkan Design Thinking dan Scrum
- Menjadi jembatan yang menjelaskan keterkaitan antar proses
- Mengingatkan siswa untuk tidak melompat ke solusi tanpa empati
- Menyediakan waktu eksplorasi dan diskusi sebelum sprint dimulai
- Mendorong refleksi lintas tahapan, bukan hanya hasil akhir
✨ Kesimpulan
Integrasi design thinking ke dalam proyek Scrum siswa Flexi School bukan hanya memperkaya proses, tapi mengakar pada filosofi belajar yang manusiawi dan relevan. Proyek bukan lagi soal presentasi keren, tapi soal mengubah diri dan memberi dampak nyata bagi lingkungan.
Di Flexi School, kami percaya: siswa tidak hanya belajar menyelesaikan proyek, tapi belajar menjadi penyelesai masalah.
Bagian 5: Contoh Proyek Design Thinking Siswa
Proses design thinking tidak berhenti di atas kertas atau dalam diskusi kelompok. Nilai sejatinya baru terasa saat ide-ide itu mewujud menjadi aksi nyata, memberi manfaat, meski dalam skala kecil. Itulah kekuatan pendidikan berbasis empati dan aksi, ketika siswa diberi ruang untuk memulai dari keresahan, lalu tumbuh bersama proses pencarian solusi.
Dalam bagian ini, akan ditampilkan beberapa contoh proyek nyata yang lahir dari proses design thinking siswa. Proyek-proyek ini dimulai dari masalah pribadi maupun sosial yang dekat dengan kehidupan mereka. Dari keresahan sederhana seperti kecanduan gadget, hingga kepedulian terhadap teman sebaya dan lingkungan sekitar. Semua menjadi bahan bakar bagi ide-ide yang otentik dan membumi.
Contoh-contoh berikut tidak selalu sempurna. Tapi justru di situlah letak kekuatannya: mereka lahir dari proses berpikir mandiri, diuji di lapangan, dan diperbaiki melalui siklus refleksi. Inilah bukti bahwa dengan pendekatan yang tepat, siswa tidak hanya bisa belajar menyelesaikan soal, tapi juga belajar menyelesaikan persoalan kehidupan.
Bagian 5.1 – Proyek “Teman Dengar”: Ruang Aman dari Tekanan Akademik
🔍 Masalah yang Dirasakan (Empathize)
Salah satu siswa memulai proyek ini setelah sering mendengar keluhan dari teman-temannya yang bersekolah di tempat lain. Banyak dari mereka merasa stres, tertekan, dan kehilangan semangat belajar karena tuntutan nilai, ranking, dan tekanan ujian. Beberapa merasa tidak bisa terbuka kepada guru maupun orang tua, sementara teman sebaya kadang tidak punya waktu atau justru menghakimi.
Siswa tersebut mewawancarai 4 teman dari sekolah berbeda dan mencatat bahwa:
- Tiga dari mereka menangis saat bercerita tentang sekolah
- Dua orang merasa cemas setiap pagi karena takut dimarahi guru
- Semua merasa tidak punya ruang aman untuk cerita
🎯 Perumusan Masalah (Define)
“Aku ingin membantu teman-teman remaja yang merasa stres karena tekanan akademik, tapi tidak punya tempat aman untuk cerita dan didengar.”
💡 Ide Solusi (Ideate)
Setelah melakukan brainstorming, siswa menyusun beberapa ide, di antaranya:
- Membuat grup curhat daring anonim
- Menulis buku harian digital bersama
- Membuka “Pojok Cerita” di area publik
- Menyediakan sesi “teman dengar” seminggu sekali
Yang dipilih: Program “Teman Dengar”, yaitu sesi offline dan online di mana siswa bisa berbagi cerita tanpa dihakimi, dengan aturan active listening dan tanpa memberi nasihat kecuali diminta.
🛠️ Membuat Versi Awal (Prototype)
- Siswa membuat kit sederhana berisi:
- Panduan menjadi “pendengar aktif”
- Aturan ruang aman (tidak menyela, tidak menilai)
- Jadwal 2 sesi mingguan (1 offline, 1 online via Google Meet)
- Mengajak 2 teman menjadi pendengar awal
- Menyebarkan form pendaftaran tanpa identitas
✅ Uji Coba dan Masukan (Test)
- Dalam 2 minggu pertama, ada 5 siswa dari sekolah lain yang mendaftar
- Masukan dari peserta:
- “Aku baru sadar ternyata cuma didengarkan saja bisa membuat lega”
- “Awalnya takut, tapi setelah 15 menit aku bisa cerita lebih dalam”
- Masukan dari pendengar:
- Tantangan menjaga netralitas
- Beberapa merasa emosional ikut terbawa
Perbaikan: Menambahkan sesi refleksi dan pelatihan ulang bagi “pendengar”
📌 Hasil dan Dampak
- Program berjalan 6 minggu dan berkembang menjadi forum diskusi kecil
- Beberapa peserta mengusulkan membuat “Teman Dengar” di komunitas remaja lokal
- Siswa pemilik proyek mengembangkan booklet panduan “Cara Menjadi Pendengar yang Aman”
🌱 Refleksi Siswa
“Aku kira awalnya aku akan bantu orang lain. Tapi ternyata, aku juga sembuh saat mendengarkan mereka. Aku belajar bahwa tidak semua masalah harus diselesaikan dengan saran, kadang cukup dengan hadir dan mendengar.”
Proyek “Teman Dengar” menunjukkan bahwa solusi tidak harus rumit. Cukup dimulai dari niat tulus dan empati yang mendalam, solusi sederhana bisa membawa perubahan bagi banyak jiwa muda yang sedang berjuang dalam diam.
Bagian 5.2 – Proyek “Escape from Distraction”: Jalan Keluar dari Jerat Gadget
🔍 Masalah yang Dirasakan (Empathize)
Seorang siswa memulai proyek ini dari keresahannya sendiri. Ia menyadari bahwa waktunya habis setiap hari hanya untuk scroll TikTok, buka YouTube, dan main game. Ia sulit fokus saat belajar, sulit bangun pagi, dan mulai merasa cemas ketika tidak membuka HP dalam waktu lama.
Saat melakukan observasi, siswa itu mencatat:
- Dalam satu hari, ia membuka HP 92 kali (berdasarkan screen time)
- Teman-temannya mengalami hal serupa, rata-rata 6–8 jam screen time/hari
- Banyak yang merasa gelisah jika HP disita atau sinyal hilang
Ia pun mulai menggali lebih dalam dengan mengobrol santai dengan 3 teman sekelas:
- Semua mengaku sadar itu tidak sehat, tapi tetap sulit berhenti
- Mereka tidak tahu harus mulai dari mana untuk lepas dari kebiasaan itu
- Tidak ada program di sekolah atau rumah yang secara khusus membantu mereka menghadapi kecanduan ini
🎯 Perumusan Masalah (Define)
“Aku ingin membantu remaja yang kecanduan gadget dan sulit fokus belajar, karena tidak punya sistem sederhana yang bisa bantu mereka mengatur waktu layar.”
💡 Ide Solusi (Ideate)
Melalui sesi brainstorming, siswa menyusun berbagai ide, seperti:
- Aplikasi pengatur waktu belajar dan istirahat
- Kalender tempel “30 Hari Tanpa Scroll”
- Ruang belajar tanpa HP
- Program “Tukar Waktu Gadget dengan Reward”
Setelah berdiskusi, ide yang dipilih adalah:
Buku saku harian berjudul “Escape from Distraction”, berisi:
- Tantangan harian sederhana (contoh: “Hari ini belajar 25 menit tanpa HP”)
- Checklist kegiatan bebas gadget
- Ruang refleksi harian: “Bagaimana perasaanku hari ini tanpa gadget?”
🛠️ Membuat Versi Awal (Prototype)
- Membuat booklet versi cetak A5 dengan isi 14 hari tantangan
- Dicetak dalam 10 eksemplar sederhana
- Dibagikan ke teman-teman untuk dicoba dalam waktu 7 hari
✅ Uji Coba dan Masukan (Test)
- 6 teman mencoba mengikuti tantangan dalam buku saku
- Feedback:
- “Susah banget, tapi pas berhasil 1 hari aja aku bangga sendiri”
- “Enak karena bisa checklist, jadi terasa kayak main game”
- “Refleksi harian bikin aku sadar kenapa aku scroll TikTok tiap malam”
Perbaikan:
- Tambahkan stiker reward harian
- Tambahkan tips singkat agar tantangan tidak terlalu sulit di hari-hari awal
📌 Hasil dan Dampak
- Buku saku dikembangkan jadi versi digital dan versi print yang lebih rapi
- 20+ siswa di batch berikutnya menggunakan buku tersebut
- Siswa membuat konten Instagram edukatif yang berisi cuplikan tantangan hariannya
- Beberapa orang tua menyampaikan bahwa anaknya mulai aware dengan screen time
🌱 Refleksi Siswa
“Dulu aku berpikir kecanduan gadget cuma soal niat. Tapi ternyata, kita butuh sistem yang bantu kita perlahan. Saat aku bikin buku ini, aku bukan cuma bantu orang lain, aku sedang nolong diriku sendiri juga.”
Proyek “Escape from Distraction” membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari satu langkah kecil yang dilakukan konsisten. Ketika siswa diberi ruang untuk mengolah keresahan pribadi menjadi aksi, mereka bukan hanya belajar menyelesaikan masalah, tapi juga membangun kekuatan untuk bertanggung jawab atas hidupnya sendiri.
Bagian 5.3 – Proyek “Numpang Yuk!”: Solusi Transportasi Berbasis Komunitas

🔍 Masalah yang Dirasakan (Empathize)
Seorang siswa memulai proyek ini dari pengalamannya sendiri setiap kali ingin pergi ke tempat belajar, perpustakaan, atau kegiatan komunitas. Ia merasa akses transportasi umum di Kota Tangerang Selatan sangat terbatas. Angkot tidak menjangkau banyak wilayah, bus kota jarang lewat, dan tidak semua remaja punya kendaraan sendiri.
Dalam proses empati, siswa ini:
- Mewawancarai 6 remaja dari wilayah berbeda di Tangsel
- Hasil temuan:
- Semua merasa mobilitas mereka terbatas
- Ada yang harus naik ojek online setiap hari dan menghabiskan Rp20.000–50.000
- Beberapa akhirnya membatalkan kegiatan penting karena tidak ada yang bisa antar
- Mayoritas bergantung pada orang tua atau saudara untuk bepergian
Observasi juga dilakukan di terminal dan jalan-jalan perumahan. Ia mencatat bahwa:
- Banyak kendaraan pribadi lewat dengan kursi kosong
- Tidak ada sistem berbagi tumpangan aman antar warga sekitar
🎯 Perumusan Masalah (Define)
“Aku ingin membantu remaja dan warga di Tangerang Selatan yang kesulitan bepergian karena keterbatasan transportasi umum, dengan cara menciptakan sistem tumpangan yang aman dan berbasis komunitas.”
💡 Ide Solusi (Ideate)
Melalui sesi brainstorming dengan teman-temannya, beberapa ide yang muncul:
- Sistem tumpangan dengan kartu komunitas
- Poster dan grup WhatsApp warga perumahan untuk saling berbagi tumpangan
- Aplikasi pemetaan pengguna yang butuh dan memberi tumpangan
- Peta digital rute transportasi informal
Ide yang dipilih:
Membuat aplikasi bernama “Numpang Yuk!”, yaitu aplikasi sederhana berbasis web dan mobile yang:
- Menghubungkan pengguna yang butuh tumpangan dan pengguna yang bisa berbagi rute
- Hanya bisa diakses oleh anggota komunitas tertentu (perumahan, sekolah, masjid)
- Memiliki sistem verifikasi dan rating antar pengguna
🛠️ Membuat Versi Awal (Prototype)
- Siswa membuat wireframe aplikasi di Figma, terdiri dari:
- Halaman login (khusus pengguna komunitas)
- Halaman cari tumpangan dan tawarkan tumpangan
- Sistem chat & notifikasi terbatas
- Dibuat simulasi interaksi sederhana menggunakan PowerPoint dan Google Form sebagai versi awal
✅ Uji Coba dan Masukan (Test)
- 10 orang mencoba simulasi: 5 sebagai pemberi tumpangan, 5 sebagai penumpang
- Masukan:
- “Idenya bagus, tapi keamanan penting banget”
- “Saya mau berbagi tumpangan tapi cuma kalau penumpangnya sudah kenal”
- “Kalau bisa ditambahkan fitur info kendaraan dan plat nomor”
Tindakan perbaikan:
- Menambahkan fitur profil kendaraan dan batasan grup komunitas
- Simulasi dijalankan di satu RT sebagai pilot program offline menggunakan WhatsApp
📌 Hasil dan Dampak
- Program “Numpang Yuk!” versi WhatsApp berhasil menghubungkan 3 keluarga dalam satu RT untuk saling antar-jemput anak sekolah
- Siswa bekerja sama dengan seorang mentor IT untuk mulai membuat versi web app sederhana
- Proyek ini menjadi bahan presentasi dalam forum pemuda kelurahan dan ditawarkan sebagai proyek kolaborasi
🌱 Refleksi Siswa
“Selama ini aku mengeluh tentang jalan yang jauh dan transportasi yang susah, tapi aku tidak pernah mikir bisa bikin sistem sendiri. Ternyata, solusi kadang nggak harus dari pemerintah. Bisa dari kita, warga kecil yang saling bantu.”
Proyek “Numpang Yuk!” menunjukkan bahwa teknologi bisa menjadi alat kolaborasi sosial, bahkan di wilayah urban yang padat dan tidak ramah pejalan kaki. Ketika siswa melihat masalah bukan sebagai beban, tapi sebagai panggilan untuk bertindak, maka lahirlah solusi yang berdampak, meski dimulai dari skala kecil dan komunitas terbatas.
Bagian 6: Worksheet Pendukung – Alat Bantu Proses Design Thinking
Worksheet ini tidak berdiri sendiri. Ia menjadi alat bantu praktis yang memandu siswa melalui setiap tahapan design thinking dan membantu fasilitator menilai proses berpikir siswa. Dengan worksheet ini, siswa tidak hanya menjawab soal, tapi menyusun pemikiran dan keputusan mereka secara sadar dan bertahap.
📍 6.1 – Worksheet Empathize: Mengenali Masalah Diri & Sekitar
Elemen | Isi Worksheet | Tujuan |
---|---|---|
Refleksi Diri | – Masalah apa yang paling sering aku alami? – Apa yang membuatku stres, gelisah, atau lelah belakangan ini? – Emosi apa yang muncul saat mengalaminya? – Apa dampaknya terhadap belajar, pertemanan, atau keluarga? | Membantu siswa menyadari masalah personal secara sadar dan jujur |
Observasi Sosial | – Masalah apa yang kulihat di sekitar rumah/sekolah? – Siapa yang terkena dampaknya? – Apa penyebabnya (menurut pengamatanku)? – Sudahkah ada yang mencoba menyelesaikannya? | Melatih kepekaan siswa terhadap masalah di lingkungan dan masyarakat |
Mini Interview | – Siapa yang aku wawancarai? – Masalah apa yang mereka ceritakan? – Bagaimana perasaan mereka terhadap masalah itu? – Kutipan atau kalimat penting yang mereka ucapkan | Menumbuhkan empati melalui komunikasi langsung dengan pengguna/penerima manfaat |
📍 6.2 – Worksheet Define: Menyusun Rumusan Masalah
Elemen | Isi Worksheet | Tujuan |
---|---|---|
Point of View Statement | Format: “Aku ingin membantu [ __ ] yang mengalami [ __ ] karena [ __ ]” (contoh: Aku ingin membantu siswa yang kecanduan TikTok karena tidak punya sistem belajar yang jelas) | Membantu siswa merumuskan masalah dengan tajam dan terfokus |
Identifikasi Akar Masalah | – Apa penyebab utama masalah ini? – Apakah ini masalah gejala atau masalah inti? – Apa yang terjadi jika masalah ini dibiarkan? | Membantu siswa berpikir kritis dan menghindari solusi yang dangkal |
Target Pengguna | – Siapa orang yang paling terdampak? – Apa karakteristik mereka? – Apakah aku juga termasuk pengguna? | Memastikan siswa tahu siapa yang akan mereka bantu |
📍 6.3 – Worksheet Ideate: Menemukan Banyak Solusi
Elemen | Isi Worksheet | Tujuan |
---|---|---|
Crazy 8s | Kertas dibagi menjadi 8 kotak Siswa diminta menulis/gambar 1 ide di tiap kotak dalam 8 menit (1 menit per ide) | Mendorong siswa berpikir bebas dan cepat tanpa menghakimi ide |
Ide Terbuka | – Tulis semua ide solusimu tanpa batas – Gabungkan dua ide menjadi satu hal baru – Ide paling aneh, lucu, atau sederhana juga dicatat | Melatih keberanian ide dan membuka ruang eksplorasi |
Skoring Ide | Untuk tiap ide, beri skor 1–5 berdasarkan: – Bisa diwujudkan sekarang? – Bisa memberi manfaat nyata? – Aku semangat mengerjakannya? | Menyaring ide untuk masuk ke tahap prototyping |
📍 6.4 – Worksheet Prototype: Merancang Produk Awal
Elemen | Isi Worksheet | Tujuan |
---|---|---|
Desain Produk Awal | – Nama solusi/produk: _______ – Masalah yang diselesaikan: _______ – Bentuk produk: barang / jasa / sistem / pengalaman – Media prototype: poster / booklet / video / app / presentasi / lainnya | Menerjemahkan ide ke bentuk nyata sesuai definisi produk yang memberi nilai |
Perencanaan Pembuatan | – Apa yang dibutuhkan? (alat/bahan) – Siapa yang membuatnya? – Waktu pengerjaan: _______ – Hambatan yang mungkin muncul? | Membantu siswa mempersiapkan pembuatan prototipe secara logis |
Checklist Prototype | ✅ Bisa digunakan ✅ Bisa dipahami orang lain ✅ Bisa diuji secara sederhana | Menyadarkan siswa bahwa prototipe tidak harus sempurna, tapi harus bisa diuji |
📍 6.5 – Worksheet Test: Uji Coba dan Perbaikan
Elemen | Isi Worksheet | Tujuan |
---|---|---|
Uji Coba ke Pengguna | – Siapa yang mencoba prototipe ini? – Di mana dan kapan? – Bagaimana reaksinya saat mencoba? | Melatih siswa untuk mendengarkan pengguna dan membuka diri terhadap masukan |
Formulir Feedback | – Apa yang kamu suka dari produk ini? – Apa yang kurang jelas? – Apa saranmu agar ini lebih baik? – Skor solusi ini (1–5) | Memberikan ruang pada pengguna untuk menyampaikan pendapat mereka secara jujur |
Refleksi Hasil Test | – Apa yang aku pelajari dari masukan orang lain? – Apa yang harus aku ubah dari solusiku? – Apakah masalah utamanya sudah dijawab? | Membimbing siswa melihat uji coba bukan sebagai penilaian akhir, tapi bahan tumbuh |
📁 Format Penyimpanan & Penggunaan
Format | Penjelasan |
---|---|
PDF cetak | Disusun rapi per tahapan, mudah dibagikan dan digunakan di kelas |
Google Form | Bisa disesuaikan untuk pembelajaran daring dan dokumentasi digital |
Portfolio Digital | Dapat dijadikan dokumen refleksi untuk asesmen berbasis proses |
Dinding Refleksi Kelas | Gunakan ringkasan lembar Define–Prototype sebagai peta proyek visual |
🧩 Cara Penggunaan Worksheet:
- Bisa dibagikan secara bertahap sesuai mingguan proyek
- Bisa dijadikan portofolio reflektif siswa di akhir semester
- Bisa menjadi bahan diskusi dalam coaching 1-on-1 atau kelompok kecil
- Dapat dijadikan alat asesmen informal untuk menilai growth mindset siswa
Bagian 7: Peran Fasilitator dalam Design Thinking
Proses Design Thinking tidak berjalan sendiri. Di balik setiap tahapan yang dijalani siswa, dari empati hingga uji coba solusi, ada peran penting seorang fasilitator. Bukan sebagai guru yang memberi jawaban, melainkan pendamping proses belajar, pengarah diskusi, dan penjaga ruang aman berpikir.
Fasilitator yang efektif bukan yang paling banyak bicara, melainkan yang paling mampu mendengarkan dan memancing pertanyaan yang tepat. Mereka berfungsi seperti cermin dan kompas, membantu siswa melihat lebih jelas dan tetap pada jalur eksplorasi.
🧭 Mengapa Peran Fasilitator Krusial dalam Design Thinking?
- Design thinking bersifat non-linier dan penuh ketidakpastian.
Siswa sering bingung, ragu, atau ingin menyerah. Di sinilah fasilitator hadir memberi kepercayaan bahwa kebingungan adalah bagian dari proses belajar. - Siswa tidak terbiasa memulai dari masalah, apalagi masalah diri.
Fasilitator membantu siswa menurunkan “tembok” yang selama ini membuat mereka sulit jujur terhadap diri sendiri dan lingkungannya. - Tanpa fasilitator, proses bisa menjadi formalitas.
Fasilitator menjaga agar setiap tahap design thinking benar-benar dijalani dengan makna, bukan sekadar diisi worksheet.
👣 Peran Fasilitator di Setiap Tahap Design Thinking
✅ Empathize
- Menciptakan ruang aman agar siswa bisa bercerita tanpa takut dihakimi
- Memandu observasi dan wawancara secara reflektif
- Mendorong siswa untuk menyelam lebih dalam ke pengalaman orang lain dan dirinya
💬 Pertanyaan coaching yang bisa digunakan:
“Apa yang kamu rasakan saat mendengar cerita itu?”
“Kalau kamu ada di posisi dia, apa yang kamu pikirkan?”
✅ Define
- Membantu siswa menyaring temuan menjadi masalah yang jelas dan fokus
- Menantang siswa jika masalah masih terlalu kabur atau terlalu luas
- Membantu siswa melihat akar dari masalah, bukan hanya gejalanya
💬 Pertanyaan coaching:
“Apakah ini masalahnya, atau hanya permukaannya?”
“Masalah ini penting untuk siapa?”
✅ Ideate
- Menjaga suasana brainstorming tetap bebas nilai dan inklusif
- Mengingatkan bahwa semua ide sah untuk dicoba dulu
- Mendorong penggabungan atau mutasi ide
💬 Pertanyaan coaching:
“Apa yang belum terpikirkan?”
“Kalau kamu bebas melakukan apa pun tanpa takut gagal, kamu akan coba apa?”
✅ Prototype
- Membantu siswa membuat keputusan: ide mana yang layak diwujudkan dulu
- Menyederhanakan proses: “Coba versi kecilnya dulu”
- Memberi batasan waktu dan bahan agar siswa belajar efisien
💬 Pertanyaan coaching:
“Apa bentuk paling sederhana dari idemu?”
“Kalau kamu cuma punya 2 jam, versi apa yang bisa kamu buat?”
✅ Test
- Menemani siswa saat menerima masukan dan menjaga mereka tetap terbuka
- Membantu menyusun pertanyaan umpan balik yang tepat
- Mendorong revisi bukan sebagai kegagalan, tapi langkah lanjutan
💬 Pertanyaan coaching:
“Apa yang kamu pelajari dari komentar mereka?”
“Apa yang akan kamu perbaiki dari prototipe ini?”
🧩 Peran Tambahan Fasilitator
- Menyambungkan proses design thinking ke proyek Scrum
→ membantu siswa menuliskan hasil define/ideate menjadi user story dan backlog - Menjadi pengamat proses, bukan penilai hasil akhir
→ memantau keaktifan berpikir, kedalaman refleksi, dan keterbukaan belajar - Menjadi contoh dalam menjalani design thinking itu sendiri
→ fasilitator juga merefleksikan, memperbaiki pendekatan, dan belajar dari siswa
✨ Kualitas Fasilitator Design Thinking yang Efektif
Kualitas | Wujud Nyata |
---|---|
Empatik | Mendengarkan siswa dengan hati, bukan menghakimi |
Reflektif | Bertanya sebelum memberi saran |
Kreatif | Fleksibel dalam metode dan respon |
Sabar | Tidak memaksa hasil cepat |
Berani belajar | Terbuka jika pendekatannya perlu diubah |
🌱 Penutup: Fasilitator Tidak Harus Sempurna, Tapi Harus Tumbuh
Fasilitator bukan orang yang tahu segalanya. Justru dengan kerendahan hati untuk bertumbuh bersama siswa, mereka bisa menjadi pendamping yang otentik dan bermakna.
Karena design thinking bukan hanya untuk siswa. Ia adalah cara berpikir dan hidup yang juga relevan bagi siapa pun yang ingin membantu manusia lain bertumbuh.
Bagian 8: Penutup – Design Thinking sebagai Budaya Belajar, Bukan Sekadar Metode
Di dunia yang terus berubah, anak-anak dan remaja tidak hanya perlu pengetahuan, tapi cara berpikir dan cara hidup yang relevan dengan tantangan nyata. Mereka perlu belajar menjadi manusia yang mampu memahami persoalan, berempati, mencoba berbagai solusi, dan terus memperbaiki diri. Semua itu tidak bisa diajarkan hanya lewat ceramah atau buku teks. Ia hanya bisa lahir lewat pengalaman langsung yang bermakna.
Inilah mengapa design thinking bukan sekadar metode. Ia adalah pendekatan belajar yang:
- Berangkat dari kehidupan nyata
- Mendorong refleksi dan empati
- Membuka ruang kreativitas dan keberanian mencoba
- Mengajarkan pentingnya kegagalan sebagai bagian dari proses
- Mengarahkan siswa untuk membuat dampak, bukan hanya produk
Ketika design thinking dijalankan dengan sungguh-sungguh, siswa tidak hanya menyelesaikan proyek, tetapi menyelesaikan sebagian dari persoalan hidupnya sendiri. Mereka tidak hanya belajar bagaimana berpikir, tapi juga bagaimana menjadi manusia yang peduli, sadar, dan bertanggung jawab atas kontribusinya bagi dunia.
🔁 Dari Proses ke Kebiasaan Belajar
Design thinking seharusnya tidak berhenti di satu proyek atau semester tertentu. Ia bisa:
- Menjadi kerangka berpikir dalam setiap kegiatan sekolah dan komunitas
- Menjadi alat refleksi dalam coaching dan mentoring siswa
- Menjadi budaya kolaborasi dan penyelesaian masalah di lingkungan belajar
Ketika siswa terbiasa melalui tahapan empati, merumuskan masalah, mengeksplorasi solusi, membuat prototipe, dan menguji, mereka akan menjadikan pola ini sebagai bagian dari cara berpikirnya sehari-hari, bukan karena dipaksa, tapi karena merasa bermakna.
📣 Ajakan untuk Para Pendidik dan Fasilitator
Jika Anda ingin menumbuhkan siswa yang:
- Berani melihat kenyataan hidup, bukan sekadar mengejar nilai
- Terbiasa menyelesaikan persoalan daripada menyalahkan keadaan
- Tangguh menghadapi kritik dan terbuka terhadap umpan balik
- Peka terhadap sekitar, bukan sibuk pada ambisi pribadi
…maka design thinking adalah alat yang bisa Anda bawa ke ruang belajar, proyek mingguan, bahkan ke obrolan sehari-hari.
Mulailah dari hal sederhana. Mulailah dari mendengarkan. Mulailah dari satu pertanyaan reflektif:
“Masalah apa yang penting buatmu saat ini?”
Dan biarkan sisanya mengalir menjadi proyek, proses, dan perjalanan belajar yang bermakna.
Kita tidak sedang mendidik anak-anak untuk zaman kita, tetapi untuk zaman mereka yang mungkin belum sepenuhnya bisa kita bayangkan. Maka yang bisa kita berikan adalah alat berpikir dan nilai-nilai hidup, agar mereka bisa berjalan di jalan yang berubah-ubah, dengan kepala yang jernih dan hati yang kuat.
Karena design thinking bukan hanya tentang menyelesaikan masalah,
tapi tentang membentuk manusia yang siap menghadapi dunia.