Sebuah sekolah di kota Roermond, Belanda, bernama Agora School merupakan sekolah alternatif yang menarik. Beberapa konsep Agora juga mirip (Setidaknya banyak kesamaan) dengan yang dilakukan oleh kami di Flexi School Bintaro.
Rob Houben sebagai manager Agora School mengatakan bahwa hal-hal yang biasanya ada dalam sebuah sekolah pun mereka memangkasnya.
Pendekatan terpenting yang dilakukan Agora berawal dari sebuah pertanyaan:
“Mengapa saya bahagia belajar di sini?”.
Fokus sekolah adalah belajar bukan sekedar mengajar. Anak-anak diberi kesempatan untuk “bermain”. Karena saat anak-anak bermain dengan hal yg menarik menurut mereka, maka orang dewasa tidak perlu mengajari mereka, bahkan kita juga tidak perlu selalu memgawasinya.
Siswa di Agora berusia sekitar 12-18 tahun. Meskipun demikian tidak ada pengelompokan umur bagi siswa saat di kelas. Masing-masing siswa diberikan kontrol penuh atas perjalanan pendidikan mereka masing-masing. Tentunya dengan bimbingan fasilitator.
Mereka dapat mengeksplore dan belajar tentang tema ataupun hal yang mereka minati. Subjek eksplorasi sangat luas mulai dari pengenalan pengunugan di Jerman, kuda-kuda mongolia yang kuat, ketrampilan pandai besi, bahkan mantra-mantra Harry Potter.
Tugas guru (Disana disebut coach) adalah memberikan tantangan dan memandu proses eksplorasi tersebut. Sama seperti di Flexi School Bintaro, fungsi lain Fasilitator adalah memastikan adanya hasil yg terukur (Tangible result) dan perkembangan khasnya. Tentu saja bersamaan dengan kerjasama bersama siswa yang lain untuk melanjutkan learning journey. Seorang coach di Agora bertanggung jawab terhadap 17 siswa.
Tantangan terbesarnya adalah mencari guru yang tepat yg dapat mendampingi siswa dan bukan hanya sekedar bersuara lantang dihadapan siswa.
Agora adalah gabungan universitas (Knowledge), kuil (Dapat berfikir) dan taman bermain, juga seperti marketplace (Aktivitas jual beli dan tukar barang)
Setiap hari siswa mengawali dengan menentukan tantangan mereka hari ini, apa pencapaian yang di harapkan dan bantuan apa yang mungkin mereka perlukan. Terbuka juga kesempatan untuk siswa memberikan saran atau bergabung dalam projek siswa lain. Ini disebut dagstart.
Berlanjut dengan project time. Dilakukan di meja kerja atau fasilitas lain seperti workshop kayu, besi, ruang menjahit, dapur atau ruang komputer. Berikutnya saat makan siang dan waktu istirahat dimana siswa didorong untuk membaca atau berfikir. Selebihnya project atau kerja-kerja kelompok sampai waktu pulang. Semakin dewasa siswa dapat memilih kapan memulai dan mengakhiri sebuah project, masuk atau keluar.
Bagaimana dengan kurikulum? Kebetulan di belanda pemerintah hanya meminta agar siswa mencapai level tertentu dalam suatu kurun waktu. Untuk itu Flexi School memilih dalam bentuk non formal, karena bisa berkreasi dengan lebih leluasa untuk membangun kurikulum sendiri dengan tetap memenuhi ketentuan Kemendiknas.
Di Agora ajaibnya, seorang siswa tidak harus memahami tentang teori phytagoras saat belajar matematika. Tapi bisa saja dia mengetahuinya dari masalah geografi, saat membuat meja ketika merancang yang justru membuatnya belajar lebih dalam.
Penggunaan Handphone dan gadget juga tidak dibatasi selama sekolah. Karena gadget diperlukan saat eksplorasi. Pembelajaran justru muncul saat siswa belajar mandiri kapan saatnya tidak memakai gadget. Dan jika gadget disimpan di loker maka Agora memerlukan sebuah kontainer untuk seluruhnya.
Konsekuensinya, WhatsApp digunakan sebagai sarana mengatur pesan. Orang tua dilibatkan dengan info singkat tentang yang mereka pelajari.
Setiap siswa memiliki meja kerja yang mereka didorong untuk membuat dan menata sendiri meja kerjanya. Dengan begitu siswa belajar bagaimana mengukur volume dan menyesuaikan desain dengan hal tersebut. Mereka juga memiliki chromebook sendiri dan tidak banyak menggunakan buku.
Bagian terpenting adalah para siswa (Bukan guru) yang menentukan bagaimana tujuannya perwujudannya, dan kegiatannya.
Jika siswa tdk diuji dgn mata pelajaran tertentu , malah melakukan berbagai project , bagaimana mengetahui perkembangannya? Jawabannya kembali ke siswa . Siswa lah yg lebih mengetahui progresnya.
Siswa Agora membuat sebuah software bernama Egodact. Yang akan melacak apa saja chalenges siswa dan progresnya. Tidak hanya itu kini mereka telah membangun sebuah wadah untuk memasarkan dan menjual software ke siswa yang lain. Mereka menulis bisnis plan, membuat road map produk dan membuka akun Bank.
Di Agora terdapat kantin dan ruang aula dimana siswa sibuk bekerja atau bahkan berlarian. Tapi ada juga ruang meeting yang bisa dipesan jika mereka ingin bertemu orang atau mengerjakan hal khusus.
Kantinnya melayani siswa dengan siswa sendiri yang menjalankan. Ke depan akan dibuka restoran untuk melayani masyarakat sekitar.
Ini adalah sebuah mimpi besar, yang tentu saja tidak selalu mudah untuk dijalankan. Banyak hal yang telah dilakukan. Pertumbuhan Agora sangat cepat karena banyaknya permintaan. Dan tantangan yang terberat adalah membuat guru untuk tidak selalu ingin mengajari.
Fasilitator mengajar 5 hari, 4 hari bersama anak-anak, 1 hari dipakai untuk observasi guru lain dan memberi feedback. Dan jika hal tersebut tidak cukup. Mereka akan keluar dari sekolah. Ke museum, laboratorium, kawasan bisnis dan menceritakan apa yg mereka temui disana.
Skill yang diperlukan adalah: empathy, komunikasi, kerjasama, flexibelitas, agilitas dan kemampuan untuk mendesain dan membuat solusi dari multidisiplin ilmu.
Anak-anak telah memiliki ilmu yang luas, tinggal bagaimana mereka menyadarinya, mensintesa dan menggunakannya saat mereka butuhkan. Dan yang memimpin soft skills mereka adalah kepercayaan diri atas kemampuannya untuk mengatasi masalah dan mengkomunikasikannya dengan orang dewasa.
Sedang di Flexi School menggunakan metode sangat mirip, dengan pendekatan yang sedikit berbeda serta disesuaikan dengan kultur, budaya dan kemampuan karena keterbatasan sekolah. Tapi untuk kualitas Fasilitator (Guru) sangat menjadi perhatian. Bahkan seleksinya tidak hanya ditentukan pihak sekolah, tapi siswa juga menentukan siapa yang berhak mendampingi mereka belajar. (Ratih Wulandari N, S.Psi)
Leave a Comment