Tuesday, 26 Nov 2024
  • Sekolah Pertama Menerapkan Agile Education Berbasis Kurikulum Aqil Baligh dan Fitrah
  • Sekolah Pertama Menerapkan Agile Education Berbasis Kurikulum Aqil Baligh dan Fitrah

Pentingnya Pendidikan Karakter Di Sekolah Untuk Masa Depan

Fakta yang terjadi di masyarakat sekitar kita akhir-akhir ini meng- undang keprihatinan yang mendalam. Lihat saja maraknya per- edaran video pornografi, seks bebas yang menjangkiti pergaulan para remaja, dunia pendidikan yang tercoreng dengan aksi bullying saat masa orientasi, juga budaya katrol nilai dan aksi curang untuk menaikkan peringkat sekolah.

Kenyataan-kenyataan itu begitu menyesakkan dada dan menuntut kita untuk memberikan perhatian lebih pada pendidikan karakter anak bangsa. Padahal kita tahu bahwa para remaja hari ini adalah calon pemimpin bangsa pada saatnya nanti. Jika kita tak berbuat sesuatu pada hari ini, maka kelak kita akan mengalami penyesalan yang kian menyayat hati.

Karakter pemimpin seperti Syaikh Ahmad Yassin di Palestina atau Bung Hatta di negeri kita, kini menjadi semakin langka. Syaikh Yassin adalah pemimpin yang memiliki keyakinan kuat dalam perjuangannya memerdekakan Palestina. Melalui orasi-orasinya dari kursi roda, Syaikh Yassin mendorong rakyat Palestina-khususnya-dan manusia di seluruh muka bumi yang masih mempunyai nurani untuk ikut berjuang menghilangkan penjajahan zionisme Israel dari bumi Palestina. Adapun Mohammad Hatta, tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia, begitu dekat dengan hati rakyat Indonesia. Perjuangan dan sifatnya begitu merakyat dan sederhana. Kesederhanaan itu mewarnai hampir dalam semua sisi kehidupannya. Baik Syaikh Yassin maupun Bung Hatta-dengan karakternya yang kuat dalam memperjuangkan kemerdekaan negaranya masing-masing-telah tercatat dalam merahnya sejarah. Karakter yang kuat seperti mereka sangat dibutuhkan oleh seorang pemimpin.

Menurut Kamus Ensiklopedia Bebas Wikipedia, karakter digambarkan sebagai sifat manusia pada umumnya, yaitu manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Di antara contoh karakter yaitu pemarah, sabar, ceria, pemaaf, dsb. Ragam dan jenis karakter itulah yang menyebabkan manusia mempunyai sikap dan sifat yang berbeda- beda.

Karakter diambil dari bahasa Yunani charassein yang artinya memahat atau mengukir. Karenanya, karakter menjadi hiasan yang melekat pada diri seseorang dan dapat diketahui oleh orang-orang di sekitarnya. Seperti yang terlihat pada Wafa, seorang anak berusia 7 tahun yang memiliki kekuatan sikap-tampak dari ucapan-ucapannya.

WAFA adalah keponakan saya yang berumur 7 tahun. Saat ini, dia masih bersekolah di Albany Rise Primary School, Melbourne dan sudah menginjak tahun kedua. Seperti anak-anak lain seusianya, hari-hari Wafa juga masih didominasi oleh sifat kekanak-kanakannya, sering ngambek, nggak mau makan, atau kalau nggak, ya berteng- kar dengan Hafidz sang adik. Namun, di balik itu semua, ada yang istimewa pada diri gadis kecil ini, dia adalah satu- satunya murid di sekolahnya yang menggunakan jilbab, pa- dahal Wafa bersekolah di pu- blic school bukan di sekolah Islam.

Gadis kecil itu tidak pernah mau melepas tutup kepalanya, walaupun sekarang sudah tidak lagi tinggal dan bersekolah di Indonesia. Saya tidak pernah melihat ayah- ibunya memaksanya untuk menggunakan jilbab, tetapi faktanya meski berada di lingkungan asing seperti ini -dengan risiko akan “diasing- kan” oleh teman-temannya- dia tidak terlalu peduli dan sangat kokoh dengan pen- diriannya.

Paling tidak, ada dua ke- jadian yang mengesankan saya tentang kegigihannya dalam berjilbab. Pada suatu hari, di saat Australia sedang dilanda heatwave-suhunya mencapai 40 derajat celsius- guru Wafa didasari rasa kasihan meminta Wafa untuk membuka jilbabnya agar tidak terlalu kepanasan. Namun, dengan tenang Wafa menjawab sambil menatap sang guru, “It’s okay Miss… I’m alright.” Sang guru sampai menyampaikan kekagumannya atas kegigihan anak gadis kecil itu.

Di kesempatan lain, hal itu terjadi lagi, Wafa ditanya oleh beberapa temannya, “Why do you wear that thing on your head?” Dengan tenang Wafa menjawab, “Because I’m Muslim.” Temannya yang masih penasaran bertanya lagi, “But what you’re wearing that for?” Dengan tenang dia menjawab, “Well, because I’m Muslim girl, and all Muslim girls are not allowed to show their hair to other people, besides their own family.” Bisa dibayangkan betapa takjubnya teman-temannya mendengar jawaban itu.

Saya tidak tahu dari mana Wafa mendapat keberanian untuk melakukan hal itu. Biasanya anak-anak seusianya sangat takut dianggap berbeda dari teman – temannya, tapi  tidak untuk Wafa. sangat percaya diri dengan keislamannya, bahkan di sini, di tempat yang cukup asing bagi dirinya. Kegigihan Wafa itu rupanya juga diperhatikan oleh guru-gurunya. Dia terpilih sebagai “student of the week” di minggu pertama dia masuk sekolah di sini.

So… for all Muslim girls di mana saja berada, jilbab di atas kepala kalian adalah bu- kan sebuah tempurung yang membatasi dirimu. Bukan juga sebuah topeng yang eng- kau bisa menyembunyikan ! diri, apalagi sebuah tirai yang menutupi potensi dan kemampuan diri. Namun, se- perti yang Wafa contohkan, jilbab adalah sebuah mah- kota yang bukan saja me- ningkatkan derajatmu di an- tara kerumunan orang lain, melainkan juga memancarkan cahaya yang membuat potensi dan kemampuan dirimu sema- kin jelas terlihat.

So… for all Muslim girls wherever you are, lift up your chins, face the world upon you and show them what you are really made of. Cheers..!!

Menanamkan karakter positif pada pribadi seseorang, sangatlah penting. Manusia menggunakan berbagai cara dan metode untuk dapat melakukan hal tersebut. Di dalam budaya Jawa, misalnya, menanamkan karakter positif digunakan melalui simbol-simbol tokoh pewayangan. Hal itu telah terjadi di masa yang lalu, bahkan hingga saat ini. Pewayangan dikenal sebagai salah satu sarana pendidikan dan penyebaran nilai-nilai kebaikan di masyarakat.

Pemahaman masyarakat pun dipengaruhi oleh tokoh-tokoh pewayangan yang ada. Sebut saja tokoh Yudhistira, yang memiliki karakter bijaksana serta sangat peduli terhadap sesama, setia, dan suka melayani. Atau Bima, seorang kesatria yang gagah perkasa dan sangat kuat, tapi hatinya lembut dan menjunjung tinggi kejujuran. Bima juga dikenal sebagai figur yang tidak gentar dalam menghadapi masalah dan tantangan. Salah seorang tokoh wanita, Kunti, yang gesit dan cekatan, tapi tetap ramah, santun, dan setia melayani.

Andrea Hirata, di dalam novel tetraloginya mengenalkan tokoh Lintang dan Arai yang memiliki karakter yang kuat. Arai sebagai tokoh yang berkarakter dalam Sang Pemimpi memberi motivasi kuat kepada Ikal dan lingkungannya. Bukan sekadar anak muda yang memiliki mimpi tinggi, ia juga berusaha untuk tidak patah arang dalam memperjuangkan mimpi- mimpinya dengan tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Ia memiliki empati yang besar untuk membantu kekurangan orang lain dan sifat melayaninya justru memberinya semangat untuk mampu mandiri, tidak sekadar menerima pemberian orang. Karakter kuat itu akhirnya mampu mengubah pola pikir Ikal yang akhirnya memengaruhi jalan perjuangan kehidupan yang dilaluinya. Dalam hal ini, proses kepemimpinan telah terjadi, memengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu yang diinginkan..

Penggambaran karakter demikianlah yang kita harapkan muncul dalam karakter anak, remaja, pelajar, mahasiswa, dan para pemimpin kita. Untuk mendapatkannya kita membutuhkan proses yang kita sebut dengan pendidikan. Pendidikan atau proses pembelajaran yang bertujuan mengembangkan karakter positif pada anak, remaja, dan pelajar sehingga mampu menghasilkan perilaku yang kuat dan melekat; membentuk jiwa mandiri dan kepemimpinan yang kuat. Pendidikan seperti ini-insya Allah- mampu mengukir nilai-nilai positif yang kuat, yang berkaitan dengan perilaku manusia terhadap Penciptanya, dirinya, keluarganya, masyarakatnya, dan moralitas wakil rakyat.

Para wakil rakyat kita di Senayan kembali menjadi sorotan publik. Kali ini mereka diperbincangkan kare na sering mangkir alias bolos dalam rapat-rapat dewan. Terakhir diberitakan mereka masih membandel dan tetap saja membolos, meski sudah diumumkan kepada publik. Kenyataan itu menunjukkan mereka tidak memiliki rasa malu.

Pengumuman nama anggota DPR yang membolos, yang sudah dilakukan pers dan lembaga swadaya masyarakat sejak beberapa tahun lalu, seharusnya sudah merupakan sanksi moral yang tergolong sangat berat. “Sanksi moral dengan mengumumkan kepa- da publik seharusnya cukup. Kalau sanksi itu tak ada pe- ngaruhnya, harus diberi sank- si apa lagi,” tutur Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia Sarlito Wirawan Sarwono, se- bagaimana diberitakan kom pas.com.

Sungguh menarik dari apa yang dikatakan spikolog sarlito wirawan sarwono. Fenomena anggota DPR yang justru marah saat digulirkan sanksi pemotongan gaji bagi mereka yang membolos, kata Sarlito, kian menunjukkan nilai (value) di kalangan DPR berbeda dengan nilai yang berlaku di masyarakat. Analogi metode melatih lumba-lumba atau kuda dengan memberikan hadiah dan hukuman cambuk, untuk melatih kedisiplinan, cocok diberlakukan bagi ang gota DPR ketika teguran memakai etika, moral, sanksi sosial, dan budi pekerti tidak lagi mempan.

Apa pun alasan yang diberikan oleh para anggota dewan atas ketidakhadiran mereka dalam rapat, sudah sangat jelas telah mencederai hati rakyat. Mereka menjadi wakil rakyat bukan melalui cara-cara masa lalu; dengan penunjukan partai, melainkan melalui pemilu. Dari proses inilah, para wakil rakyat itu terpilih. Dipilih secara lang sung karena diketahui oleh masyarakat pemilihnya. Karenanya, sangat wajar jika masyarakat menaruh harapan besar pada anggota DPR yang telah terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Tentu yang mengkhianati rakyat tidak semua anggota DPR. Namun, jika hal ini terus-menerus dibiarkan, tentu persepsi yang berkembang bisa berubah, tidak hanya sebagian tapi seluruh anggota- nya akan tercoreng. Masalah disiplin ini perlu ditanggapi serius oleh segenap anggota dewan. Jangan sampai hal ini terus mencuat ke publik yang dampaknya dapat saja semakin mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa percaya rakyat kepada wakil- wakil mereka. Lebih jauh jika citra anggota DPR terus merosot, bukan tidak mungkin akan memengaruhi kehidupan demokrasi di negeri ini.

Sesungguhnya perilaku wakil rakyat kita yang tidak disiplin ini dapat juga dikait- kan dengan pendidikan moral yang mereka terima selama masa pendidikan. Menjadi pertanyaan kita adalah apakah lembaga pendidikan telah ga- gal dalam menanamkan nilai- nilai moral seperti pentingnya disiplin sebagai salah satu indikator kejujuran dan sikap tanggung jawab seseorang yang berkarakter? Apakah perilaku sering absennya para anggota dewan juga me- rupakan kebiasaan yang sering dilakukan di bangku kuliah?

Masalah disiplin kini ma- kin terasa penting bila di- kaitkan dengan upaya kita membangun karakter bangsa. Kini di mana-mana kita ber- bicara soal pembangunan ka- rakter, bahkan Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indo- nesia juga mengedepankan masalah upaya memperbaiki akhlak yang juga terkait de- ngan karakter bangsa.

Dengan demikian, persoal- an akhlak, karakter, memang benar-benar menjadi masalah serius karena justru mencuat dalam kalangan elit kita yang seyogianya dapat menjadi te- ladan. Apabila rakyat tidak mempunyai tokoh keteladanan, panutan yang dapat dicontoh, bagaimana jadinya masa de- pan bangsa dan negara ini. Mudah-mudahan saja masalah ini dapat menyentuh nurani dan kesadaran hati kita untuk dapat memperbaiki citra yang memprihatinkan tersebut.

Meski bukan satu-satunya solusi dalam menyelesaikan krisis ini, proses pendidikan karakter juga bisa dilakukan oleh sebuah institusi pendidikan kepemimpinan. Di negeri ini, institusi pendidikan kepemimpinan sudah banyak berdiri. Institusi pendidikan kepemimpinan sangatlah penting dalam melahirkan pemimpin-pemimpin yang memiliki karakter positif dan kuat di masyarakat. Tentu saja hal ini harus ditunjang dengan kurikulum yang baik dan pengawasan pada proses pembelajarannya.

Sayangnya, kekuatan hasil dari institusi pendidikan kepemimpinan pun masih menjadi pertanyaan besar bagi kita. Masih kuat dalam ingatan kita tentang meninggalnya seorang praja (calon penyelenggara pemerintahan) karena kekerasan dari seniornya di salah satu institusi pendidikan kepemimpinan di Indonesia. Institusi yang banyak diminati para lulusan SMA ini sedianya bertujuan melahirkan para pemimpin di masyarakat. Namun, apa yang terjadi menunjukkan bahwa lembaga institusi pendidikan kepemimpinan pun masih harus dibenahi.

Untuk bisa menjadikan pemimpin-pemimpin kita memiliki karakter yang kuat, tentu tidak bisa terlepas dari proses pendidikan yang dijalaninya dan bagaimana mereka menghadapi permasalahan-permasalahan hidupnya. Ketika seseorang hanya ingin meraih seluruh kecukupan hidupnya dengan cara cepat dan mudah atau bahkan bertentangan dengan hukum yang ada, kemungkinannya adalah karena tidak mampu bertahan dalam kesulitan hidup dengan karakter positif yang sebenarnya telah ia miliki sejak lahir. Karakter seorang pemimpin menjadi penting karena kemudian para pemimpin kita akan menjadi teladan bagi masyarakat yang dipimpinnya.

Belajar dari Cina

Pendidikan karakter bagi seluruh anak bangsa ini seharusnya menjadi gebrakan utama dalam pendidikan nasional bangsa ini. Tidak ada tabunya jika kita belajar dan mau mengaca pada negara lain. Permasalahan yang serupa pernah terjadi di negara Cina, sebuah negara yang sekarang memiliki kemajuan dalam segala bidang: ekonomi, politik, teknologi, dan pertahanan. Kemajuan ini dapat dicapai karena mereka memiliki sumber daya manusia yang memiliki karakter positif yang berlandaskan pada ajaran dan nilai yang mereka anut. Seperti ketaatan kepada yang lebih tinggi, menunjukkan kemurahan hati, kuatnya rasa kekeluargaan dan gotong-royong, dan lain sebagainya.

Tahun 1985, Deng Xiaoping sebagai pemimpin Cina pada masa itu pernah melakukan program reformasi di bidang pendidikan yang mampu mengubah pola pikir setiap warga negara untuk memiliki karakter yang konstruktif bagi pembangunan bangsa. Perubahan pola pikir ini dilakukan melalui sekolah sehingga pendidikan karakter menjadi kegiatan yang menonjol di Cina dan dijalankan sejak jenjang prasekolah sampai perguruan tinggi. Secara eksplisit hal ini mengungkapkan tentang pentingnya pendidikan karakter dalam rangka memperbaiki kualitas pembangunan bangsa.

Pendidikan Nasional

Pendidikan karakter kini memang sudah menjadi wacana utama pendidikan nasional. Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional-bulan Mei 2010-Menteri Pendidikan Nasional telah mencanangkan penerapan pendidikan karakter di seluruh jenjang pendidikan, dimulai dari pendidikan dasar. Muhammad Nuh, bahkan menegaskan pendidikan karakter pada jenjang pendidikan dasar memiliki porsi yang lebih besar.

UU 20 tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional berbunyi:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.”

Pentingnya pendidikan karakter sudah disepakati dan menjadi pemikiran utama dari Kementerian Pendidikan Nasional dan para praktisi pendidikan. Seluruh elemen pendidikan diharapkan dapat mengembangkan pembentukan karakter anak didik dalam institusi pendidikannya.

Pakar pendidikan, Arief Rahman Hakim, turut menegaskan pentingnya pendidikan karakter. Selain keharusan adanya semangat bersama dalam membangun pendidikan karakter dan kebangsaan, pemerintah seharusnya juga menekankan pendidikan moral sebagai akar pembangunan karakter bangsa yang akan mengatasi permasalahan karakter anak bangsa.

Menerapkan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah salah satu model pendidikan yang sangat penting dan harus segera dilaksanakan oleh semua pihak yang terlibat  dalam proses pembentukan karakter anak bangsa. Tidak melulu kita mengandalkan proses pendidikan di sekolah, tetapi juga harus diterapkan di mana saja. Prof. Dr. Fasli Jalal, Ph.D, sebagai mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional, mengatakan bahwa proses pembentukan karakter dimulai dari fitrah yang merupakan pemberian Allah kemudian menjadi perilaku dan jati diri seseorang.

Dalam proses kehidupannya, fitrah ini berkembang dan dipengaruhi oleh keluarga, keadaan lingkungan, dan semua yang memberikan pengaruh perubahan tersebut. Proses pembentukan karakter dan perilaku diterapkan sejalan dalam semua aspek kehidupan. Rasanya mustahil memisahkan pendidikan karakter dalam dunia kerja dan dunia belajar karena nilai-nilai karakter akan terpakai di mana pun kita berada.

Pada masa awal perkembangan, anak-anak mulai belajar tentang aturan. Pembentukan kebiasaan anak terhadap aturan tergantung pada pengulangan dari rutinitas penerapan aturan dan konsistensi penerapan aturan tersebut sehingga ketika suatu kebiasaan itu terbentuk, anak lebih mengenal dirinya sesuai dengan kebiasaan yang dimilikinya. Perkembangan nilai karakter dan perilaku seseorang sangat tergantung pada proses pengulangan tersebut.

Anak akan memiliki nilai karakternya dari tahapan awal mengetahui nilai karakter (TAHU). Kemudian mengenali nilai karakter sesuai dengan contoh pendidikan karakter yang diberikan dalam keseharian, baik oleh pembimbingnya di sekolah maupun orangtua dan orang terdekatnya di rumah (KENAL). Lalu menjadi pembiasaan dan terus mendapatkan apresiasi dari orang sekelilingnya sampai menjadi kebiasaan (BIASA). Apabila dilatih secara terus-menerus hingga mendarah daging, kebiasaan inilah yang akan menjadi nilai karakter yang dilakukan secara otomatis (MELEKAT),

Tahapan TAHU

Tahapan TAHU merupakantahapan penanaman nilai untuk menyadarkan anak didik akan nilai-nilai karakter dan perilaku tertentu. Penanaman nilai ini mencakup pentingnya nilai tersebut dalam keluarga dan lingkungannya. Anak didik akan meniru dan mengikuti suatu nilai tanpa perlu mengerti atau memahami makna yang terkandung dalam nilai tersebut terlebih dahulu. Tahapan ini biasa terjadi pada awal anak didik mengenal nilai karakter dan perilaku tertentu. Dalam tahapan ini, pembimbing tidak perlu terlalu menekankan salah atau tidaknya suatu nilai karakter dan perilaku yang dilakukan oleh anak didik, tetapi seyogianya ia terus-menerus mencontohkan tindakan mana yang benar.

Penanaman nilai-nilai etika seperti mengajarkan antre pada siswa TK, dapat diberikan dalam kegiatan keseharian mereka ketika harus antre saat ganti baju atau pada saat berwudhu. Faktanya, nilai perilaku antre ini sudah banyak hilang pada diri orang- orang dewasa, kecuali pada kondisi tertentu, sepert antre di bank dan antre di pom bensin. Karakter disiplin dalam menjaga waktu harus ditumbuhkan secara terus-menerus sejak usia dini sehingga ketika anak didik berada di kelas 7, 8, atau 9 mereka sudah terbiasa, apalag ketika harus berhubungan dengan orang lain.

Tahapan KENAL

Tahapan ini akan sangat terbantu dengan cara mengenalkan nilai karakter dan perilaku dalam kesehariannya, baik di lingkungan sekolah maupun d lingkungan keluarga. Pengenalan yang diberikan oleh pembimbing di sekolah juga harus dikomunikasikan dengan orangtua yang menjadi pembimbing anak didik di lingkungan keluarga sehingga keduanya bisa berjalan secara seimbang.

Pengenalan perilaku seperti menghabiskan makan dapat dilakukan untuk mengaplikasikan tahapan KENAL ini. Acara ini dilakukan dalam kegiatan pendidikan karakter di sekolah setiap pekan pada saat anak-anak makan bersama. Anak didik belajar untuk mengambil makanan secukupnya dengan mencoba menakar kebutuhan dan mencoba menghabiskannya. Kebiasaan ini akan tertanam bila anak didik menemukan contohnya dalam kehidupan sehari- harinya, di rumah misalnya. Penerapan kegiatan ini melibatkan seluruh unsur yang ada dalam sekolah. Insya Allah, hal ini akan berdampak langsung dalam menguatkan tahapan KENAL perilaku menghabiskan makan.

Pengenalan nilai perilaku juga bisa ditanamkan melalui perilaku menghormati yang dimasukkan ke dalam tema pembelajaran Four Magic Words. Tema ini bermaksud mengajarkan anak menerapkan empat kata yang menunjukkan kesopanan: terima kasih, tolong, permisi, dan maaf. Pembimbing mengajarkan penggunaan kata-kata ini disertai dengan pengenalan akan maknanya. Four Magic Words dikuatkan dengan pengenalan yang berulang-ulang selama pembelajaran dengan pelaksanaan tema tersebut sehingga anak didik akan mengenalinya dan dapat menggunakannya dengan tepat. Diharapkan dengan pengenalan seperti ini, anak didik akan terbiasa melakukannya di kemudian hari.

Tahapan BIASA

Penguatan nilai pendidikan karakter dan perilaku anak didik melalui pujian dan reward ketika ia melakukan hal yang positif dan melalui teguran dan hukuman saat ia melakukan kesalahan, akan memunculkan kesadaran dan rasa percaya diri dalam melakukan nilai-nilai karakter dan perilaku yang ada. Dukungan dan proses penguatan ini akan memiliki dampak yang besar bila seluruh pihak secara berkesinambungan melakukannya; pembimbingan di sekolah dan orangtua di lingkungan keluarganya. Bila orangtua memahami bahwa sekolah atau institusi pendidikan adalah bengkel, maka tahapan BIASA ini sulit berjalan baik. Hal ini terjadi karena orangtua hanya berorientasi pada hasil akhir saja.

Tahapan BIASA ini bisa diaplikasikan melalui pembiasaan bersikap toleran kepada anak didik secara bertahap. Toleran berarti memahami bahwa setiap orang di sekelilingnya memiliki kelemahan dan kelebihan. Kemudian ketika outing perjalanan, misalnya ke Baduy, Banten, mereka bisa langsung berinteraksi dengan masyarakat yang tinggal di kampung tersebut. Di Baduy, beberapa aktivitas keseharian dan peribadatan yang dilakukan betul-betul berbeda dengan apa yang biasa anak didik jalani. Dengan hal ini, diharapkan rasa toleran anak didik akan tumbuh kepada orang/kelompok yang berbeda dengan mereka sekaligus akan tumbuh rasa syukur atas nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka. Pembiasaan perilaku dan karakter seperti ini harus dilakukan secara kontinu sehingga sampai pada usia tertentu nilai karakter dan perilaku akan menjadi nilai yang mengental dalam diri mereka.

Tahapan MELEKAT

Tahapan MELEKAT merupakan nilai karakter dan perilaku yang dilakukan secara otomatis, tidak memerlukan tahapan berpikir lama. Dalam bahasa lain, karakter atau perilaku ini sudah spontan dilakukan tanpa memperhatikan emosi anak didik. Ketika perilaku dan karakter sudah masuk tahapan ini, maka-insya Allah-nilai karakter sudah melekat pada diri anak didik.

Pembiasaan tahapan MELEKAT bisa melalui pembiasaan karakter bermanfaat bagi orang lain yang dilakukan secara terus-menerus sejak anak didik di tingkat prasekolah, hingga tingkat lanjutan. Di sekolah lanjutan, anak didik kelas delapan bisa diajak melakukan kegiatan live-in, yaitu kegiatan selama delapan hari tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat desa. Harapannya, mereka sudah otomatis memperlihatkan karakter bermanfaat bagi orang lain di masyarakat tersebut.

Keseluruhan tahapan perkembangan nilai karakter dan perilaku ini perlu memperhatikan kaidah-kaidah tertentu agar proses yang dilakukan setiap tahapan di seluruh kehidupannya bisa berjalan dengan baik.

Adapun kaidah pembentukan karakter itu antara lain:

  1. Kaidah kebertahapan

Perkembangan karakter dan perilaku dilakukan secara bertahap. Walaupun proses perkembangannya lama, tapi hasilnya lebih paten, apalagi bila dilakukan dengan sabar dan tidak terburu-buru, Dalam setiap tahapan pembentukan karakter, kaidah ini harus digunakan.

  1. Kaidah kesinambungan

Dalam setiap tahapan perkembangan karakter dan perilaku, dilakukan secara berkesinambungan. Hal ini akan membentuk rasa dan warna berpikir seseorang menjadi kebiasaan dan akan menjadi karakter pribadinya yang khas. Dengan kaidah ini, anak didik akan menjiwai keseluruhan proses pembentukan. Berkesinambungan membutuhkan bantuan seluruh pihak yang berkaitan langsung dengan anak didik kita, baik dengan pembimbing di sekolah ataupun orangtua dan orang terdekatnya di lingkungan keluarga. Berkesinambungan juga bermakna terus-menerus berkelanjutan dari setiap tahapan usianya sehingga anak didik tidak mengalami kekosongan pembimbingan.

  1. Kaidah momentum

Kaidah ini menggunakan momentum peristiwa tertentu untuk menguatkan tahapan pembentukan karakter dan perilaku yang ada. Hal ini dapat terjadi pada setiap tahapan, tapi perlu disesuaikan penjelasan dan pemaknaan yang diberikan kepada anak didik. Dengan kaidah ini, pembimbing dapat menggabungkan pendidikan dan latihan sekaligus, yakni antara tahapan TAHU dan tahapan KENAL. Pantauan dan kreativitas guru atau orangtua dalam mencermati setiap kejadian atau momentum yang ada, menjadi sangat penting dalam kaidah ini.

  1. Kaidah motivasi intrinsik

Kaidah ini bertujuan agar anak didik mampu merasakan dan melakukan sendiri perilaku dan karakter tertentu sehingga anak didik menjadi terbiasa melakukannya. Terbentuknya keselarasan antara penanaman nilai dari tahapan TAHU, kemudian proses pemahaman dalam tahapan KENAL, dan akhirnya menjadi sebuah kebiasaan yang termotivasi dari dalam dirinya sendiri.

  1. Kaidah pembimbingan

Setiap tahapan pendidikan perlu dievaluasi dan dipantau dengan saksama oleh pembimbing atau orangtua sehingga menjadi nilai karakter dan perilaku yang kuat. Karakter dan perilaku positif yang dimiliki anak didik harus dikembangkan dengan aktivitas dan kegiatan tertentu yang disertai pemberian reward. Adapun apabila karakter negatif muncul, sebaiknya disikapi dan diingatkan terus-menerus dengan aktivitas dan kegiatan yang berbeda secara bijak serta pemberian sanksi yang mendidik.

Tahapan dan Kaidah Pembentukan Karakter

Pendidikan karakter yang mencakup semua kepentingan di atas hanya dapat dilakukan secara terpadu, yakni adanya keterlibatan atau kerja sama semua pihak: diri sendiri, orang terdekat (orangtua, teman, dan sebagainya), dan lingkungannya. Seluruh proses pendidikan karakter ini akan menjadi sekolah kehidupan pada diri seorang anak didik. Dengan siapa pun ia berinteraksi, maka ia akan belajar tentang nilai. Semua pendidikan karakter ini harus dipantau dan dievaluasi perkembangannya. Ada yang menegur ketika melakukan kesalahan; ada yang memberikan pujian ketika melakukan kebaikan. Sekolah kehidupan seperti inilah yang seharusnya ada dalam proses pendidikan di negeri kita.

Proses pendidikan seperti ini membutuhkan waktu yang lama karena melibatkan unsur manusia yang lengkap dengan semua sisi kemanusiaannya. Hasilnya paten karena berorientasi pada pembentukan individu yang berkepribadian utuh. Indonesia memerlukan individu-individu yang seperti ini, Berinteraksi positif dengan lingkungannya dan mampu menyebarkan nilai- nilai positif yang mampu membangun masyarakatnya. Proses pembentukan karakter adalah sebuah sekolah yang mencakup orangtua, masyarakat, dan institusi pendidikan (baca: sekolah).

Peran Institusi

Peran institusi pendidikan atau sekolah merupakan bagian dari ling- kungan yang jugamemiliki peranan yang sangat besar dalam pembentuk- an karakter seseorang. Waktu yang dilalui seseorang di sekolah-sejak prasekolah hingga perguruan tinggi-hampir sepertiga dari kehidupannya.

Waktu yang demikian lama ini sudah selayaknya juga mempunyai andil dalam membantu penguatan pendidikan karakter anak didik. Pemerintah, melalui Wakil Menteri Pendidikan Nasional, juga menganjurkan agar setiap sekolah dan seluruh lembaga pendidikan memiliki school culture, yaitu setiap sekolah memilih pendisiplinan dan kebiasaan tersendiri mengenai karakter yang akan dibentuk. Seluruh stakeholder, pemimpin, dan pendidik lembaga pendidikan juga harus mampu memberikan suri teladan mengenai karakter tersebut. Dengan demikian, pendidikan karakter tidak perlu dimasukkan dalam kurikulum khusus dan baku, tetapi dijadikan sebagai kegiatan pembiasaan dan harus ada dalam seluruh proses pembelajaran yang disiapkan.

Sebelum tahun 1975/1976 dunia pendidikan di Indonesia mengenal mata pelajaran “budi pekerti”. Pada pelajaran “budi pekerti” ini, dikenalkan nilai-nilai moral/etika/perilaku yang baik. Ada jam pelajarannya, teta anak didik tidak mengenal ujiannya. Nilai mata pelajaran “budi pekerti cukup dengan mengamati perkembangan budi pekerti anak didik dala kesehariannya.

Di pesantren, apalagi pesantren yang menerapkan pendidikan integral, ada elemen paling mendasar yang dikenalkan kepada siswa: konsep adab. Dalam konsep adab, hal pertama yang dibentuk adalah karakter tauhid. Siswa diajari bagaimana mengenal Sang Pencipta, bersyukur kepada-Nya, dan beribadah dengan cara yang benar sesuai yang diajarkan utusan-Nya.

Karakter ini tidak serta-merta berarti tidak humanis atau antisosial. Justru dengan karakter tauhid itulah, adab kepada masyarakat dan sesama terbentuk. Tauhid adalah landasannya. Pembentukan karakter di pesantren benar-benar serius. Sebab, dilakukan selama dua puluh empat jam. Di sinilah peran integralisasi pendidikan tidak bisa diabaikan. (http://www. hidayatullah,com/read/18004/15/07/2011/hidayatullah.com)

School culture yang dipilih oleh setiap institusi pendidikan secara tidak langsung akan memengaruhi pelaksanaan pendidikan di institusi tersebut, terutama memengaruhi pembentukan perilaku dan karakter anak didik. Aturan yang diberlakukan, mata pelajaran, dan metode penyampaian pelajaran, akan segera mengarah kepada karakter dan perilaku tertentu yang ingin dibentuk oleh institusi pada anak didiknya. Karena begitu pentingnya pembentukan karakter dalam perkembangan perilaku anak didik saat ini, maka sekolah atau institusi pendidikan harus menerapkan school culture pendidikan karakter dalam setiap proses pembelajaran, baik di sekolah maupun di tempat lainnya.

Sejalan dengan hal itu, pakar pendidikan di Indonesia, Arief Rahman Hakim, berpendapat bahwa mengandalkan pola serta kurikulum pendidikan saja, tidak akan memadai untuk mengarahkan pelajar memiliki karakter yang baik. Pendidikan karakter tidak dapat dibebankan pada kurikulum pendidikan saja tanpa menguatkan dengan pendidikan agama yang terintegral dengan kurikulum pendidikan yang ada.

Dr. Adian Husaini, seorang cendekiawan Muslim, juga menyampaikan hal yang senada dalam peluncuran bukunya “Pendidikan Islam” di Jakarta bahwa membangun contoh teladan adalah kunci pendidikan karakter. Kesalahan fatal cara berpikir pendidikan di Indonesia adalah menganggap pendidikan Islam adalah pendidikan agama. Padahal sebenarnya, pendidikan Islam tidak hanya terfokus pada masalah akidah dan ibadah. Semua elemen ilmu pengetahuan adalah bagian dari pendidikan Islam. Ditegaskan pula bahwa sosok keteladanan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabat seharusnya menjadi kurikulum penting dalam pendidikan sejarah.

Sebagai contoh, perilaku Menjaga Waktu-yang disebut dalam buku ini-yang dibudayakan di sebuah institusi bagi anak didiknya, akan menuntut semua guru atau fasilitator kelas dari berbagai tingkat untuk melakukan proses pendisiplinan dan pengefektifan waktu, sekalipun kepada anak didik yang masih memerlukan bantuan. Perilaku seperti ini dimasukkan dalam pembelajaran kelas tanpa harus ada mata pelajarannya.

School Culture dan Perubahan Paradigma

Peran yang dilakukan oleh institusi pendidikan adalah pengembangan kultur sekolah. Institusi pendidikan perlu mengevaluasi dan mencermati kembali tata peraturan dan norma yang harus diterapkan untuk mendukung pendidikan karakter, baik yang terkait dengan penanaman nilai akhlak yang disepakati, menumbuhkan kemampuan leadership (kepemimpinan), maupun juga menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dalam diri anak didik.

Tokoh pendidikan, Ratna Megawangi, mengatakan bahwa anggapan keberhasilan pendidikan anak ditentukan oleh kemampuan membaca dan berhitung pada usia dini itu tidak benar. Justru kematangan emosilah yang harus terbentuk pada usia prasekolah, bukan kemampuan membaca dan berhitung. Contoh keberhasilan tersebut seperti ketertarikan anak terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya, mempunyai rasa percaya diri, mengetahui cara dan kapan anak meminta bantuan dari guru atau orang-orang dewasa lainnya, kesabaran ketika menunggu, mematuhi instruksi, dan mampu bekerja sama dalam kelompok.

Pendidikan karakter berbasis sekolah menuntut perubahan paradigma pada seluruh stakeholder institusi pendidikan. Pemerhati dan praktisi pendidikan, Utomo Dananjaya, mengungkapkan perlunya perubahan paradigma pengajaran menjadi paradigma pembelajaran di sekolah. Perubahan paradigma ini sekaligus menjelaskan sejauh mana peran guru sebagai fasilitator anak didik; suasana sekolah sebagai sarana tempat pembelajaran berlangsung, keterlibatan siswa; sumber belajar serta evaluasi yang dilakukan.

no Pengajaran Pembelajaran
1 Berpusat pada guru Berupusat pada pembelajaran / siswa
2 Guru dominan sebagai aktor kelas Guru sebagai fasilitor
3 Suasana “tertib”, tenang, kaku, dan membosankan Suasana “hidup”, menyenangkan, dan interaktif
4 Siswa terlibat dalam kompetisi de- ngan siswa lain dengan motivasi mengalahkan teman Siswa didorong bekerja sama mencapai tujuan. Tolong-menolong dalam meme- cahkan masalah dan bertukar pikiran
5 Siswa adalah tempat guru men- curahkan pengetahuan (banking system). Prestasinya adalah se- jumlah hafalan/reproduksi penge- tahuan Siswa adalah pelaku proses penga- laman mengambil keputusan, meme- cahkan masalah, menganalisis, dan mengevaluasi. Kegiatan memproduksi pengetahuan
6 Evaluasi oleh guru bersifat me- nyeleksi dan me-ranking kuantitas hafalan Evaluasi oleh siswa bersifat refleksi dan berperan memperbaiki proses untuk meningkatkan prestasi
7 Sumber belajar buku teks dan guru Sumber belajar adalah pengalaman

eksplorasi mandiri dan pengalaman keberhasilan temannya memecahkan masalah

8 Tempat belajar sebatas ruangan Tempat belajar tidak terbatas ruang kelas Tempat belajar sebatas ruangan Tempat belajar tidak terbatas ruang kelas, tetapi seluas jagat raya

Paradigma pembelajaran dalam pembentukan karakter anak sangat dipengaruhi dengan interaksi guru dan murid. Guru merupakan pengganti orangtua di sekolah sekaligus fasilitator dalam pembentukan nilai karakter dan perilaku anak didik. Ibu Elly Risman, pemerhati pendidikan, menegaskan bahwa peran guru sebagai fasilitator menjadi sangat berat. Guru memiliki tuntutan yang sangat tinggi, dengan realitas di lapangan yang berkaitan dengan praktik-praktik tidak bersih. Perlu disadari bahwa nilai karakter dan perilaku yang dimiliki oleh seorang guru atau fasilitator akan dijadikan teladan dan oleh anak didiknya. Dengan demikian, nilai ketangguhan yang dibiasakan, nilai sabar yang dilatihkan, benar-benar diperoleh langsung dari kehidupan dan keteladanan guru yang menjadi fasilitator mereka.

Sekolah Model

Sekolah Model diharapkan dapat menjadi kenyataan bagi yang mengangankan dan menginginkan perubahan dalam dunia pendidikan. Bukan sekadar perubahan sistem, metode, dan target pembelajaran, melainkan juga perubahan paradigma pendidikan secara menyeluruh.

Di sekolah ini, anak-anak dibebaskan bereksperimen dan berekspresi tanpa dibatasi oleh aturan yang mengekang rasa ingin tahu mereka; dibatasi oleh budaya sekolah yang memagari interaksi mereka dengan kehidupan yang sebenarnya. Sekolah yang mampu mengedepankan proses belajar pada anak didik dengan mengembangkan potensi dirinya secara optimal dengan menerapkan metode belajar yang tepat. Adapun metode pembelajaran tersebut antara lain:

  1. Meningkatkan akhlak mulia

Menggunakan metode keteladanan, yaitu fasilitator berperan men- contohkan akhlak secara nyata kepada anak didik.

  1. Meningkatkan jiwa kepemimpinan

Menggunakan metode outbound dan lifeskill sebagai media belajar. Fasilitator melakukan aktivitas outbound secara praktis bersama anak didik dan terjun dalam kegiatan kehidupan masyarakat yang ada.

  1. Meningkatkan kemampuan logika berpikir ilmiah

Menggunakan metode spider web, alam dijadikan    media belajar. Fasilitator berperan mencontohkan dan terlibat berpikir holistis dalam memahami alam semesta bersama anak didik.

Ketiga target kurikulum tersebut diterjemahkan dengan metodologi keteladanan untuk akhlak mulia; dynamic group untuk kepemimpinan; dan spider web untuk logika berpikir ilmiah..

Kurikulum yang bersifat holistis tertuang dalam praktik Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) sehari-hari. Aktivitas-aktivitas seperti shalat berjamaah, menyantuni kaum dhuafa, Ramadhan camp, outbound, outing (untuk belajar langsung dari sumbernya), market day (sebagai pendidikan kewirausahaan), adalah bagian dari kegiatan pembentukan karakter siswa dalam hal akhlak, kepemimpinan, dan tradisi ilmiah.

Untuk bisa mengukur kualitas dari ketiga aspek tersebut, disusunlah sebuah rapor deskriptif yang menggambarkan pencapaian setiap siswa untuk masing-masing aspek. Target dan metode belajar yang demikian juga sangat membutuhkan school culture yang mewadahinya.

Peran Masyarakat

Proses pembentukan karakter tidak saja bergantung dari institusi sekolah, melainkan juga di masyarakat. Proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah hanya dalam waktu terbatas (4-7 jam) sehingga membutuhkan penguatan di luar jam sekolah. Kita tahu bahwa anak akan menjalani proses pendidikan karakter di mana saja ia berada. Guru, orangtua, dan masyarakat hanya menjadi fasilitator dalam proses pendidikan tersebut

Pembentukan karakter anak menjadi hasil kolaborasi dari seluruh lingkungan tempat anak didik berinteraksi. Sebagaimana orangtua, lingkungan dan masyarakat juga menjadi penopang karakter anak. Setiap entitas/unsur yang ada di masyarakat sangat memungkinkan untuk jadi pengaruh dalam pembentukan karakter anak.

Kak Bimo, master of story teller di Indonesia, menyatakan bahwa karakter bangsa dapat dibangun melalui cerita.

DELAPAN LANGKAH MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI CERITA:

  1. Inspirasi dan penyadaran;
  2. Team work character builder,
  3. Networking untuk story teller dan volunteers;
  4. Pelatihan dan pengaderan;
  5. Penerbitan acuan;
  6. Pelegendaan kisah unggulan:
  7. Seleksi dan filterisasi materi cerita;
  8. Kurikulum nasional.

Budaya/kultur yang ada di dalam masyarakat dan komunitas, juga memiliki kekuatan dalam membentuk karakter. Menyelami kehidupan dengan mengikuti aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan, insya Allah akan menguatkan anak didik untuk mengikuti budaya sederhana.

Yoga, salah seorang anak didik Sekolah Alam Indonesia, yang mendapatkan pengaruh dari lingkungan kehidupan pedesaan, menuliskan refleksi kegiatannya yang dapat memotivasi orang lain untuk melihat lebih dalam hikmah di baliknya.

Kegiatan yang diikuti Yoga, siswa kelas sembilan tersebut adalah menginap selama delapan hari di pedesaan. Mereka melihat, mengikuti, dan mencoba menyelami kehidupan pedesaan. Mereka juga ikut membantu seluruh aktivitas yang dilakukan oleh keluarga yang didiaminya sementara. Ikut bekerja di sawah, memberikan pelayanan kesehatan, memberikan pengajaran bagi anak-anak dan ibu-ibu di desa tersebut. Dengan mengikuti kegiatan di desa, justru anak didik mendalami nilai kejujuran dan ketangguhan, tidak mudah menyerah dan semakin mensyukuri kehidupan yang mereka jalani.

Sumber: Buku Life Skills, Yodhia Antariksa

Another Article

This article have

0 Comment

Leave a Comment